35

5.6K 1.1K 128
                                    


Lagi seneng, anakku si oca sama Milo punya debay, jadi update. Doakan sehat semua sampe gede ya hehe 🥰

Happy reading

***

Rasanya aneh dan cukup berbeda. Maksudnya, biasanya kehidupannya sangat ramai, berisik, dan juga sedikit terganggu akan sesuatu tetapi sekarang sepi. Hatinya senyap dan terasa kosong. Dia pikir dia akan baik-baik saja. Mereka juga bukan orang penting. Mereka bukan sesuatu yang bisa dia jaga setiap hari. Mereka bukan orang yang harus ada. Mereka ... Ah, benar. Mereka selalu ada bersamanya. Axiel menunduk. “Mereka selalu ada sama gue, ya.” Axiel tersenyum kecut. “Bahkan saat gue minta mereka buat lakuin hal yang nggak mereka inginkan, mereka tetep lakuin tanpa ngeluh.”

“Tapi sekali mereka ngeluh, gue malah mukul dia. Gue pukul mereka semua tanpa mikir panjang.”

Axiel mengangkat kepalanya dan menenggak bir kaleng ke-lima malam ini. Mata Axiel sudah merah dan pandangannya sudah tidak fokus. Dia bangkit hendak pergi keluar namun kakinya tak lagi bisa menahan bobot tubuhnya. Dia ambruk dan bersandar di pintu kamarnya. Sejak kapan? Sejak kapan semua ini di mulai? Sejak kapan semuanya terasa salah dan menyimpang dari jalan yang seharusnya. Ibunya pergi. Aylin pergi dan sekarang, teman-temannya pergi. Kenapa dia melakukan ini semua?

Aylin, gadis itu. Ah, dia yang paling Axiel sakiti. Dia selalu berada di sisinya. Tertawa padanya dan juga bercanda sekalipun Axiel sering sekali tak menanggapi. Dia menyakitinya dengan kata-katanya yang kasar. Dia menghancurkan hatinya. Dia juga sering sekali mengkhianatinya. Tetapi, saat itu Aylin masih diam. Dia tetap tersenyum padanya dengan tulus. Dia selalu ada bersamanya. Dia selalu menghiburnya. Sekalipun menurutnya, Aylin hanya suatu tempat untuk disinggahi sebelum dia berangkat guna berbuat masalah lagi tetapi Aylin tidak mengeluh. Dia tetap menerimanya. Aylin menyambutnya dengan tangan terbuka.

Tetapi sekarang, sepertinya gadis itu sudah lelah. Dia tak mau lagi menerimanya. Dia pergi mencari kebahagiaan sendiri dan meninggalkannya tersesat di kebingungan yang ia buat sendiri. Dia berubah total. Dia menolaknya dengan cara yang sama seperti dia memperlakukannya. Tatapannya sama seperti yang dia lakukan padanya. Dia tidak tahu jika rasanya akan sesakit ini. Bagaimana mungkin gadis itu menahannya selama ini?

Teman-temannya juga memilih pergi. Mereka sudah tidak kuat menghadapi keegoisannya. Mereka tidak mau lagi bertahan di sisinya.

Mereka semua pergi, meninggalkannya sendirian. Axiel menepuk-nepuk dadanya. “Enggak, gue nggak apa-apa. Gue nggak kenapa-kenapa. Ini nggak sakit. Ini sama sekali ngga sakit,” Axiel meraba pipinya yang terasa basah dan mengepalkan tangan. “Gue baik-baik aja. Ini bukan apa-apa.”

Axiel berusaha memberikan mantra pada jiwanya, menghibur diri, dan memantapkan hatinya jika semua akan baik-baik saja. Salah, Axiel salah. Tidak ada yang baik-baik saja. Semua kacau sejak hari itu tiba, hari di mana dia melepaskan rasa irinya. Saat di mana dia memilih membunuh hatinya dan membuat Aylin berhenti menyukainya.

***

“Ay, ayo makan di luar!”

“Aylin doang? Kita gimana?”

Arkala menatap satu persatu tamunya terutama Daniel yang baru saja menceletuk dengan wajah datar. Seharian ini mereka di sini untuk memikirkan keselamatannya tetapi Arkala malah terkesan tidak peduli.

“Beli sendiri lah!” ketus Arkala sambil melempar kartu atm hingga sampai ke dekat Daniel.

Daniel dan Darren saling menatap kemudian beralih pada Arkala yang memandang mereka dengan lugu. Keduanya yang tidak tahan menarik Arkala hingga terjatuh kemudian berulang kali menendanginya. “Anak setan nggak tau terima kasih! Udah lo balesnya sok ketus, nyebelin, ngeselin nggak tau diri banget sih lo! Masih syukur gue bantuin, njir!” umpat Daniel sebal.

“Adek gue lo pepet terus. Lo ngga liat nih mata gue udah mau keluar gara-gara melotot, tapi malah lo nggak peduliin, hah? Nggak tau diri emang! Udah gue lo bikin malu, adek gue mau lo embat tanpa susah payah minta restu dari gue gitu? Gila lo!”

“Udah nyusahin, nyebelin, nggak tau diri. Sumpah, gedeg gue, Ka. Lo nggak minta maaf karena ninggalin gue di restoran dan suruh bayar makan lo sementara duit gue kurang. Lo tau ngga sih, gue malu banget, woy!”

“Aduh-aduh, sorry guys. Kesalahan teknis! Udah dong, malu gue.” Arkala berteriak ditengah-tengah aksi keduanya yang terus menendangnya. “Ay, tolong! Tolongin, cami lo dong.”

Keduanya kompak berhenti. “Cami?” ulang Darren bingung.

Arkala menyeringai lebar. “Calon suami!” balasnya lantang, bangga, dan sangat-sangat percaya diri yang semakin membuat keduanya geram. Mereka menunduk dan bukan cuma menendang, tetapi juga memukulnya dengan jengkel. Arkala benar-benar menyebalkan.

Aylin mengabaikan keadaan Arkala dan malah membuka aplikasi online guna memesan makanan. “Mau apa?” tawar Aylin pada ketiga orang yang masih terdiam menatapi Arkala.

Pandu menoleh. “Salad,” balasnya kalem.

“Kok salad doang? Yang banyak, Arkala yang bayar kok,” protes Aylin sembari menghasut.

Pandu menggaruk tengkuknya bingung. “Sama minumnya satu.”

Aylin berdecak pelan. “Kalian mau apa?” tawar nya pada Angela dan Hades.

“Gue nasi goreng, Hades juga sama 'kan?” tanya Angela yang dibalas anggukan oleh pemuda itu.

“Oke. Gue udah pesen salad dua, nasi goreng tujuh, ayam goreng krispi, ayam panggang, ayam bakar, ayam pedes, sate ayam tiga puluh tusuk, dua box pizza mozzarella, jus strawberry sama jus mangga. Yang lain minum air putih aja. Gue sama pandu yang minum jus,” terang Aylin sambil memberitahukan semua pesanannya.

“Kok banyak banget ayamnya?” singgung Pandu bingung. “Gue pesen satu aja nggak usah dua.”

“Buat gue,” balas Aylin santai.

“Babi kalo makan banyak loh, Lin!” sindir Darren yang telah berhenti memukuli Arkala. Dia mengambil air putih dan menenggaknya perlahan.

“Buaya juga suka minum loh,” balasnya santai.

Darren mengernyit. Dia berhenti minum. “Bukannya buaya emang hidup di air, ya?” tanyanya bingung. Sedetik kemudian, matanya mengerjap sadar. “Heh, mulut lo! Lo ngatain gue?” bentaknya murka.

Aylin meleletkan lidahnya tidak peduli dan terkejut ketika tiba-tiba saja Arkala sudah duduk di sampingnya dalam keadaan mengenaskan. Rambut yang naik ke atas, kaos yang sobek, jangan lupakan juga coretan spidol di wajahnya. “Lo mau ngemis di mana malam-malam gini?” tanyanya lugu yang sontak mengundang tawa semua yang ada di sana.

Arkala cemberut. Dia beranjak pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Harap-harap cemas dan berharap jika spidol yang Darren pakai untuk mencoret bukanlah spidol permanen.

“Abang?”

Darren menoleh pada Aylin yang kini menatapnya dengan lekat. “Abang katanya dipermaluin sama Arkala? Emang apa?”

Ponsel di tangan Darren terjatuh. Dia menatap Aylin yang sedang melihatnya dengan penuh tanya.

Darren mengambil ponselnya dengan gemetar. “Bukan apa-apa. Nggak penting,” balas Darren tanpa sadar gugup.

“Gue tanya Arkala aja ya, kalau gitu?”

"JANGAN!” Darren berteriak dan mengejutkan semuanya. “Ehm, iya nanti gue ceritain di rumah.”

“Tapi gue pengen tahunya sekarang!”

“Nggak usah, nggak penting kok.”

“Nggak mungkin, kak Darren mencurigakan. Kata Papa, Kak Darren juga berubah banyak karena kejadian yang berhubungan sama Arkala.”

Darren menelan ludah gugup. Dia menatap Daniel yang kini menahan tawa di pojok sofa. Terlebih sekarang ada tiga orang yang menatapnya dengan pandangan tak kalah penasaran. Rasanya Darren seperti ayah yang akan mendongeng sebelum tidur pada anaknya.

***

20-1-2022
Terima kasih banyak udah baca

Next chapter : masa lalu Darren dan Arkala terbongkar, tenang aja, mereka enggak pacaran kok, apalagi saling cinta. Tidak mungkin ya guys ☺️

I'm An Antagonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang