Keluarga Kak Rangga Datang!

6K 784 13
                                    

Jika doa yang menjadi jalan dan harapan, Kenapa tidak mungkin yang mustahil dapat terwujudkan?

Rangga Ini Anya
@Sarifatulhusna09
.
.
.

Anya tidak punya kepercayaan dirinya lagi. Setelah menyimpan perasaan lebih dari dua tahun, kini ia baru merasakan nyeri atas rasa sepihaknya. Melihat Rangga dengan cewek yang lebih baik dibandingkan dia adalah tamparan yang benar-benar menyesakkan. Bahkan senior ceweknya itu begitu akrab dengan keluarga Rangga.

Bagaimana jika keduanya setelah wisuda menikah?

Air matanya lolos lagi. Ia tidak kuat jika benar itu terjadi. Anya menyandarkan samping kepalanya ke kaca jendela. Kini ia duduk di bangku busway paling belakang. Anya tidak langsung pulang, ia bahkan tidak menerima tawaran Lea untuk diantar. Sejak satu jam lalu, Anya hanya duduk di busway, mengelilingi kota untuk mengobati perihnya. Meski air matanya tak henti lolos.

Jika mencintai sepihak sesakit ini, Anya dari dulu akan menjaga hati. Atau setidaknya jika saja dia tidak datang untuk memberi hadiah, ia tidak akan melihat hal yang membuat hatinya hancur berkeping seperti ini.

Tatapannya menatap kosong ke luar jendela. Di ufuk barat, warna langit berubah jingga keorenan. Cahaya mentari senja masuk menyapu wajahnya. Anya memejamkan sejenak matanya dengan senyum miris. Kini ia merasa bodoh. Benar-benar bodoh.

Drttt drtt drttt

Getaran ponsel membuatnya buru-buru menghapus air mata. Anya mengedarkan pandang, ternyata bus sudah sepi. Ia beruntung tidak ditanayakan kapan turun. Setelah bilang “saya cuman mau keliling dengan busway.” Mereka mengangguk saja.

Nama Mama tertera di layar canggihnya. Anya berdeham, menjaga suaranya agar tidak serak. Barulah ia geser tanda hijau ke atas. Omelan Mama seketika memenuhi indra pendengarannya.

“Anyaa kamu di mana? Jam berapa ini? Lewat jam enam. Sudah mau gelap. Mama sudah bilang kalau telat pulang dikabari. Kamu anak gadis. Gimana kalau kenapa-kenapa? Telfon Mama kenapa baru diangkat? Pulang sekarang. Jangan tunggu Papamu marah.”

Omelan beruntun itu membuatnya meringis. Anya lupa memberi kabar seperti biasa, saking patah hatinya ia jadi seperti ini. Anya anak tunggal, perempuan pula. Bagaimana orang tuanya tidak overprotectif.

“Maaf, Ma. Iya Anya pulang. Anya naik gojek biar cepat. Dah Ma.” Sebelum omelan itu terus berlanjut, atau ditanyai ia dari mana. Ia langsung matikan ponselnya. Anya segera turun, duduk di halte dan menunggu Go-jek yang ia pesan.

Langit sudah sepenuhnya gelap begitu dia menunggu. Cahaya keorenan tadi sudah hilang. Matahari sudah sepenuhnya kembali ke perpaduan. Menyisakan langit yang berganti dihiasi rembulan.

“Gojek, Dek?” Sebuah motor matic biru berhenti tepat depan halte. Anya segera berdiri. “Atas nama Qanya Saufi?” tanya Abang Gojek itu lagi, memastikan.

Anggukan yang ia berikan sebagai balasan.

Dua puluh menit menempuh jalan pulang, Anya cukup jauh berkeliling hingga ke ujung pemberhentian Busway. Sampai di rumah, ia langsung disambut sebuah sedan hitam yang terparkir di halaman rumah.

“Mobil siapa?”

Keluarganya tidak punya mobil. Ayah bahkan hanya punya motor. Menjawab kebingunggannya, Anya segera membuka pagar dan membuka pintu dengan salam. “Assalamualaikum.” Anya menunduk, ia takut matanya masih merah, bisa bahaya kalau orang tuanya tahu dia menangis. Walaupun daritadi sudah kena angin.

Wa’alaikumsalam.” Jawaban salam serentak itu membuatnya mengernyit dalam tundukan. Kalau didengar, lebih dari suara dua orang. Mungkin lebih lima orang. Ah ada tamu ya?

Rangga Ini Anya- ENDWhere stories live. Discover now