Jangan Lihat Anya Terus Kak Rangga

6.7K 687 5
                                    


Resepsi hari ini sampai malam pukul sembilan. Tamu banyak berdatang, tak terkecuali dari teman-teman Rangga dan Anya. Cukup membuat dua pengantin baru itu kelelahan.  Tapi tidak mengendurkan senyuman lebar yang masih terpatri.

Malam itu mereka masih menginap di rumah Anya, sedang langsung satu hari setelahnya, Anya akan dibopong Rangga menuju kediaman baru mereka. Iya, Anya baru tahu ternyata Rangga sudah mempersiapkan rumah untuknya. Rumah yang sederhana namun cukup nyaman untuk keduanya.

“Anya, nurut ya sama Rangga di sana. Bagi-bagi waktunya. Rangga yang utama, jangan lupakan kewajibanmu sekarang.” Sejak semalam, kedua orang tuanya tiada henti mengingatkan, memberikan nasihat untuk anak gadis yang kita menjadi tanggung jawab orang.

Anya menganguk-angguk. Air matanya mengalir, dipeluknya erat Bunda dan Ayah bergantian. “Maafin Anya, maafin Anya. Anya akan dengarkan kata Ayah Bunda. Doain Anya, Anya sayang kalian.”

“Ayah Bunda, Rangga sama Anya pamit dulu.” Rangga bergantian salam. Usai berpamitan pada seluruh keluarga, Anya bersama Rangga diantar menggunakan mobil Abi hingga ke rumah. Sedang mertuanya nanti langsung balik ke Yogyakarta.

Rumah minimalis sederhana dan elegan berwarna abu-abu krem itu menyambut mata begitu mobil berhenti tepat di depan halaman. Ukurannya sekitar 6x9 meter. Sabit manis terlukis di bibir perempuan cantik yang masih memancarkan aura bahagia itu, iris matanya mengamati halaman depan yang dipenuhi rumputan segar berwarna hijau, terpotong rapi.
Di depan beranda juga ada berjejer bunga dalam pot putih yang sedang mekar.

Anya menoleh begitu dingin tangan Rangga menyentuh punggung kulitnya. Seulas senyum laki-laki itu terbit. “Anya suka rumahnya?”

Ia mengangguk sebagai jawaban. Anya membeku begitu Rangga mengusap lembut kepalanya.

“Rumahnya kecil, enggak apa-apa?”

“Ini lebih dari cukup Kak Rangga.”

Dibantu Abi dan Kak Deo, mereka memasukkan semua barang ke dalam rumah. Anya turut membantu, ketika mengangkat barang yang berat, bebannya langsung diambil alih oleh Rangga.

“Yang ringan aja, ntar Anya capek.”

Perhatian kecil yang buat senyumnya terus mengambang. Anya menyempatkan melarikan diri ke warung depan, di rumah mereka tidak ada apa-apa, ia ingin menyeduh air untuk mertuanya.

Usai berbincang sebentar dan menikmati secangkir teh, Abi, Umi dan Kak Deo langsung pamit. Berangkat ke Yogyakarta. Mereka tidak bisa menginap, baik Abi dan Kak Dio ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal lama.

Kini hanya keduanya di sana. Mereka kembali masuk setelah mengantar kepergian mobil Abi. Melanjutkan menyusun barang yang belum selesai. Anya melirik Rangga yang kini menyusun beberapa buku di rak samping televisi.

Sebuah kotak kecil di atas sofa menarik minatnya. Niat Anya ingin menyimpan barang itu, namun belum sempat membuka kotak itu sudah beralih ke tangan Rangga.

Anya mengerjap, mendongak pada Rangga yang tersenyum manis.

"Ini biar Kakak aja."

Anya mengangguk ragu. Netranya menatap kotak kecil yang kini disimpan Rangga.

"Cuman file penting." Jelas Rangga menjawab kebingungannya. Anya mengulas senyum, mengangguk. Rangga berlalu ke kamar usai mengusap kepalanya.

Seperginya Rangga. Anya mengambil figuran yang masih ada di lantai, memasang di dinding tamu, ditariknya sebuah kursi. Karena sedikit lebih tinggi, ia terpaksa berjinjit. Anya mengigit bibir bagaian bawahnya, mencoba menggantung. Tidak lucu kalau figuranya pecah.

Rangga Ini Anya- ENDWhere stories live. Discover now