Terlalu Sempurna

4.7K 562 3
                                    

Operasinya berjalan lancar. Anya segera dipindahkan ke ruang rawat inap beberapa jam pasca sadar. Ruangan rawatnya tidak VVIP, tidak hanya dia sendiri. Cukup ramai, ada tiga sampai lima orang namun berbatas tirai biru.

Tidak ada sofa. Hanya ada satu Tv bersama di sudut ruangan. Lemari kecil untuk menyimpan bajunya dan nakas untuk kebutuhannya.

Beberapa jam berlalu, waktu terus bergulir hingga menunjukkan pukul enam sore. Walaupun ada orang tuanya yang merawatnya, Anya merasa sedih karena tidak melihat Rangga sejak selesai operasi.

Ia tahu Rangga kerja. Pria itu sudah mengatakan padanya sejak semalam, tidak dapat izin. Walau ia menginginkan Rangga di sini, Anya cukup sadar begitu papa berpesan padanya.

“Anya biar Mama yang urus ya, jangan repotin Rangga. Rangga kerja juga untuk Anya, apalagi habis bayar operasi Anya.”

Anya mengerti, apalagi begitu Papa menyebut nominal biaya operasinya yang membuatnya merasa bersalah. Rangga juga menolak uang bantuan orang tuanya karena merasa masih bisa menanggung.

“Selama kamu sakit kalian tinggal di rumah Mama dulu saja ya.” Atensinya beralih, Menatap Mama yang kini baru datang membawa nasi. “Kalau berdua, kasian siapa yang akan urus Anya, suamimu kan kerja, pasti akan capek juga.”

Anya mengangguk, menyetujui. “Nanti Anya bilang Kak Rangga, Ma.”

“Mama sudah bilang Rangga, Nak.”

Bergantian menjaganya, jika pagi hingga malam, ia akan ditemani Mama, usai maghrib Mama akan pulang di jemput Papa. Gantian Rangga yang kini menjaganya. Sebenarnya kedua orang tuanya sudah meminta Rangga pulang, biar Mama yang menginap. Namun pria itu lagi-lagi menolak. Selain tidak mau merepotkan, bagaimana pun juga Anya sudah jadi tanggung jawabnya.

“Kalau gitu Papa Mama balik ya, Nak.”

“Iya, Pa.” Usai bersalam. Papa Mama membelai puncak kepala Anya. Rangga turut mengantar hingga depan pintu rawat.

“Rangga kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang Papa. Kamu memang suaminya Anya, tapi bagaimana pun kamu dan Anya adalah anak kami, jangan merasa terbebani sendiri. Di sini ada orang tua kalian yang akan bantu.” Papa menepuk pundak kirinya.

“Iya, Nak. Kamu juga baru beberapa bulan kerja kan. Kami masih ada uang kalau Rangga butuh.”

“Makasih Pa, Ma. Saat ini Rangga insya Allah bisa, Rangga masih punya tabungan. Insya allah cukup.”

“Ya sudah kalau Rangga bisa, kamu semangat ya. Anya agak sedikit rewel kalau sakit. DIa hanya butuh ditemani aja. Kami balik ya, Nak. Assalamualaikum.”

Wa’alaikumsalam.” Rangga masuk begitu mertuanya sudah berjalan menjauh. Ia duduk di kursi yang dari tadi di duduki mertuanya.

“Gimana perut Anya?”

Gelengan kecil yang dia berikan sebagai jawaban.

“Kak Rangga udah makan?”

“Nanti aja.” Rangga mengusap lembut puncak kepala Anya, menatapnya dalam.
Anya mengangguk.

“Oh ya, kak Rangga bawakan sesuatu.”

Rangga tersenyum, mengambil paper bag kecil di atas nakas, menyodorkan pada Anya.

“Itu apa Kak Rangga?”

“Coba deh Anya buka.”

Menengok ke dalam paper bag tersebut, bisa dilihatnya sebuah android. Matanya berbinar. Begitu ditariknya keluar, ponsel bermerek realme kini ada di tangannya.

Rangga Ini Anya- ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang