Realita Menyakitkan

6.3K 634 7
                                    

Di dunia ini sebagian orang tidak akan peduli apa yang kita lakukan, sebagian risih dan bahkan ada yang sangat peduli hingga menasihatkan. Lalu terkadang kita ada yang cuek, ada yang terlalu menerima semua ucapan orang, tak jarang ada yang susah payah agar terlihat sempurna di mata orang lain.

Itu semua untuk apa?

Rangga Ini Anya
@Sarifatulhusna09

.
.
.

“Biasanya konfirmasi dari perusahaan berapa lama Kak Rangga?” Anya membuka obrolan lagi setelah mereka menikmati suapan pertama makan malam kali ini. Sekalian menghilangkan kegugupannya karena ulah Rangga.

“Paling cepat tiga sampai empat hari. Nanti atau besok biar kak Rangga bantu tanyakan ya.”

Anya mengangguk. Rasa pedas yang membakar lidahnya membuatnya tidak bisa melanjutkan pembicaraan. Dua hingga tiga suapan. Rasa panas di bibir diiringi perutnya yang begitu sakit membuatnya mencengkram sendok. Padahal cabe-nya sedikit.

Rangga masih menikmati makannya.

“Kegiatan Anya hari ini apa aja? Tadi jadi pergi sama Lea makan ice cream?” Rangga menoleh. Anya buru-buru tersenyum. Mengangguk.

Rangga mengamati wajah Anya yang memerah, bibir Anya juga sudah memerah seolah pakai lipstick. Kornea mata Wanita berusia 21 tahun itu juga berair. “Pedas?”

Anya mengangguk.

“Sini cabe-nya, jangan di makan lagi.”

Rangga memindahkan cabe itu ke piringnya, beralih mengambil air putih dan membantu Anya minum.

“Mau ganti nasinya?”

Anya menggeleng. Rasa panas di bibirnya kini kalah dengan  sakit perut yang kian menjadi. Ia gigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan, tidak mau Rangga khawatir. “Lanjut makannya kak Rangga.”

Mereka lanjut makan, Anya kira nyeri itu akan hilang. Ia menunduk dan meremas perutnya yang seakan dililit lalu ditusuk. Pedih dan menyesakkan. Air matanya lolos menahan sakit. Kenapa dengannya? Nyeri yang akhir-akhir ini ia rasakan kembali terasa.

“Anya …”

Rangga panik begitu melihat air mata Anya membasahi pipi gadis itu.

“Kenapa perutnya, Sayang?”

“Sakit Kak Rangga.”

“Kita ke Klinik ya?”

Air matanya kian mengalir. Anya bangun dari duduknya, berpindah jongkok di samping meja makan.

Tuhan sakit sekali.

“Obat kak Rangga, pereda nyeri.”

Rangga mengangguk, berlari ke kamar mengambil kotak obat dan meminumkan obat Pereda nyeri pada Anya. Anya tampak lebih tenang, namun gantian ia merasa mual dan lemas.

Dijatuhkannya diri di pelukan Rangga, pria itu langsung membopong Anya ke kamar, menyelimuti dan menemani.

Rangga mengusap lembut bekas air mata Anya. Sorot khawatir itu begitu gelisah melihat wajah Anya yang pucat.

“Masih sakit?"

Kepalanya menggeleng kecil. Tidak separah tadi.

“Anya ada Magh?”

Ia menggeleng, tidak tahu.

“Yakin nggak ke klinik, Anya pucat, sayang.”

“Enggak kak Rangga,” balasnya lemas.

Rangga Ini Anya- ENDDove le storie prendono vita. Scoprilo ora