DUA PULUH ENAM

18.5K 2.6K 323
                                    

Jangan lupa vote dan komen, ya.

••••

Sebulan telah berlalu, akhirnya ketakutan yang selama ini membayangi pun terjadi. Keadaan Dipta semakin buruk, dia harus menjalani pengobatan secara rutin, Difya juga sudah melupakan banyak hal-hal besar di hidupnya. Terkadang, Difya seperti orang bodoh yang tidak tau apapun.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, langsung ganti baju terus makan siang," kata Yoza pada Dipta dan Ditya.

"Siap bunda ratu," saut Ditya lalu naik ke atas.

Dipta tidak langsung naik, dia berhenti dan melihat Yoza yang tengah menyiapkan makan siang untuk mereka.

"Difya dimana, bunda?"

Yoza menoleh ke arah Dipta. "Ada di atas, mungkin tidur," jawab Yoza. "Ganti baju, mas. Bajunya masih di pake buat besok."

Dipta berjalan mendekat, memeluk Yoza membuat aktivitas yang tengah di lakukan bundanya itu terhenti.

"Pusing bunda," keluh Dipta.

"Bisa naik ke atas? Atau langsung makan aja? Udah makan mas minum obat terus istirahat," kata Yoza.

"Ganti baju dulu, deh." Dipta melepaskan Yoza lalu mengecup pipi bundanya sebelum pergi ke kamarnya.

"Hati-hati."

Keadaan di atas, ternyata Ditya menghampiri Difya terlebih dahulu. Dia melihat adiknya tengah mendengarkan musik menggunakan earphone.

"Difya," panggil Ditya.

Gadis itu menoleh, segera melepas earphone nya lalu tersenyum. Dia memperhatikan Ditya yang masih lengkap dengan seragamnya.

"Lagi ngapain?" tanya Ditya.

"Dengarin lagu."

"Udah makan, gak?"

Gadis itu tersenyum. "Kamu kok bisa disini? Emang di bolehin sama bunda buat masuk ke kamar aku?" tanya Difya membuat Ditya terdiam.

"Difya lupa?" lirih Ditya.

Senyuman gadis itu masih setia terpatri. "Kamu anaknya teman ayah, ya?" tanya Difya membuat Ditya memejamkan matanya.

"Ini abang, Difya."

"Abang?" beo Difya.

Ditya mengangguk cepat. "Difya gak lupa, kan? Ini abang."

Difya terdiam menatap wajah suram Ditya. Dia merasa tidak mengenal remaja di hadapannya ini, namun dia juga tidak yakin.

"DIFYA!"

Tubuh gadis itu tersentak.

"Ini abang, jangan lupa. Kenapa harus lupa? KENAPA? GAK BOLEH LUPA, HARUSNYA GAK LUPA, DIFYA. ABANG SELALU ADA SETIAP HARI, KENAPA HARUS DI LUPAIN?"

"Maaf, bang," lirih Difya merasa takut.

Napas Ditya memburu, dia mengepalkan tangannya erat. Dadanya sakit, ini yang terparah. Jika akhir-akhir ini Difya memang semakin parah, tapi hari ini yang paling buruk. Difya melupakannya, dia lupa kakaknya sendiri dan Ditya belum siap dengan itu.

"Maaf," cicit Difya menahan tangis.

Ditya mendengkus kesal, berbalik dan berniat pergi, namun langkahnya terhenti melihat Dipta yang sudah berdiri di depan pintu.

"Ganti baju, bang," kata Dipta.

Ditya keluar dengan cepat, sedangkan Dipta berjalan mendekati Difya. Dia berjongkok di depan adiknya yang duduk di pinggir kasur.

TRIPLETS D [END]Where stories live. Discover now