06. Gadis Yang Mencuri Nama Senja

3.9K 893 75
                                    


Oktober, 1968

"Ini bukumu. Kukembalikan."

Kalandra mulai terbiasa dengan rutinitas mereka. Bertemu di tempat ini pada sore hari. Berbagi tempat duduk yang sama tanpa bertukar banyak kata. Gadis itu, yang Kalandra masih tidak ketahui namanya karena selalu terlambat absen pagi atau kadang tidak masuk sama sekali, akan menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku Kalandra. Ia menunjukkan ketertarikan besar pada planet-planet dan bintang-bintang. Terlihat dari binar di matanya, dari sentakan-sentakan kecil yang tidak disadarinya dia lakukan ketika bersemangat. Sementara Kalandra akan tidur, ia tidak diizinkan merokok, jadi dia hanya berbaring, menatap gadis itu melakukan kegiatan favoritnya.

Dan itu menjadi ... salah satu hal favorit untuk Kalandra lakukan.

"Simpan saja," kata Kalandra, melirik sekilas judul pada buku tersebut, The Night Sky. "Aku tidak suka membaca."

"Kenapa?" tanyanya, mengerutkan alis. Tatapannya pada Kalandra seolah ia tersinggung dengan pernyataan pria itu. "Bukunya bagus! Isinya tentang bintang, planet-planet, alam semesta!"

"Apa menariknya?" Kalandra mengendikkan bahu.

Dapat dilihatnya, gadis itu memutar bolamatanya gemas.

"Bukankah menarik? Kau bisa tahu tempat-tempat yang amat jauh di sana, di luar jangkauan. Membuatmu merasa kecil, sekaligus menyadari betapa indah dan besar jagad raya ini."

Kalandra tersenyum. Tidak lain, karena binar yang ia temukan di mata gadis itu saat menyebutkannya. Dan sekarang itu tidak terasa cukup. Ia ingin mendengar lebih. "Kalau begitu ceritakan."

Lalu, Kalandra dapat melihatnya dengan mata kepala sendiri. Bintang-bintang yang gadis itu ceritakan, terpancar di sepasang matanya yang jernih, lepas bebas dari bibirnya yang tipis. Membuat Kalandra seketika mengerti betapa indahnya.

"Ikut aku!" kata gadis itu, menarik Kalandra keluar.

Sinar matahari telah redup ketika mereka berjalan keluar gubuk. Ada sungai kecil tak jauh dari situ, dengan bantaran ditumbuhin semak rumput dan sebuah potongan batang kayu lapuk, melintang menghadap sungai. Di atas situ, mereka duduk, tepat menghadap arah matahari terbenam, membiarkan bias hangat matahari senja mengenai wajah keduanya.

Gadis itu mengarahkan tangannya, menunjuk semburat warna-warna jingga dengan sentuhan merah muda dan ungu di atas cakrawala.

"Tahu tidak, kenapa senja itu indah? Kenapa warna langit berubah saat senja?"

"Kenapa?"

Dinaikkannya buku di tangan ke sisi wajah, seolah ingin memamerkan benda itu pada Kalandra. "Makanya membaca! Langit berubah saat senja itu karena ada fenomena hamburan. Saat senja, arah sinar cahaya berubah menjadi menyebar. Warna cahaya, ditentukan dari panjang pendeknya gelombang cahaya dan ukuran partikel. Makanya banyak molekul udara akan menghasilkan warna biru dan ungu."

"Tapi senja berwarna jingga."

Gadis itu menaikkan satu jari, mengisyaratkan Kalandra untuk tidak memotong.

"Warna jingga terlihat karena posisi matahari yang rendah di cakrawala, sinar matahari melewati lebih banyak udara saat matahari terbenam. Warna merah itu juga disebabkan panjang gelombang. Intinya, seperti yang kubilang tadi, warna-warna itu ditentukan oleh panjang gelombang. Semakin waktunya matahari tenggelam, artinya semakin rendah di cakrwala dan semakin panjang gelombang, makanya warnanya semakin merah." Ia tidak berhenti sampai di sana. Tidak, dia bahkan tidak kehilangan napas. Ia justru tampak tersenyum. Tampak menggebu-gebu. Tampak ... cantik.

Senjakala, 1977Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon