09. Sebuah Tiket Kusam

3.7K 841 64
                                    

Oktober, 1977.

Rumah dengan pagar bercat putih dan dua bunga bougenvile menghiasi halaman terasa seperti tempat paling akrab ketiga setelah rumah dan kantor LAPAN bagi Kalandra. Selain dua tempat tersebut, tempat ini lah yang paling sering dia kunjungi, yang dia sering nantikan untuk kunjungi. Mungkin satu hari nanti ─mungkin tidak lama lagi─rumah itu akan menjadi rumah tempat berkumpul ia, keluarganya, keluarga kecilnya di hari-hari besar. Rumah Sofia.

Dan melebihi rumahnya, sosok cantik gadis itu berdiri di teras, mengenakan gaun merah yang memeluk pinggul rampingnya dengan sempurna, jatuh tepat di bawah lutut dengan gelombang indah. Rambutnya yang ikal sepundak tergerai rapi, dengan poni tipis yang mengembang cantik. Melihat kedatangan Kalandra, ia melambai ringan.

Kalandra memarkirkan vespa di halaman, melepas helm, lantas menyugar rambut agar kembali rapi. Sempat ia menunduk, memastikan penampilan. Kemejanya telah disetrika rapi, begitupun celana kainnya yang agak sempit, tetapi dipotong melebar di bagian bawah, ikat pinggang hitam menghiasi. Senada dengan warna sepatunya, telah disemir hingga mengilat.

Secara keseluruhan, Kalandra percaya diri dia berada dalam penampilan yang prima, meski awalnya sempat terburu-buru, membuat keputusan di detik terakhir.

"Maaf terlambat," katanya sembari menaruh helm di jok motor lantas berjalan menuju teras. Di sana, Sofia tidak sendirian. dia ditemani sang ibunda, wanita berdarah Belanda – Tionghoa namun sangat lembut dan sopan dalam bicara, sesekali memakai bahasa Jawa. Dia seperti biasa, anggun dengan sanggul dan balutan kebaya berwarna hijau.

"Tidak apa-apa," kata Sofia di balik polesan merah lipstiknya. "Aku juga baru selesai berdandan."

"Tidak perlu berdandan. Nanti jadi terlalu cantik."

Suzi, perempuan kepala empat itu tersenyum mendengar ucapan Kalandra. Ia menepuk putrinya di pundak, lantas berujar.

"Pandai sekali, lelaki satu ini merayu. Pantas anak saya tergila-gila."

"Ibu bisa saja," balas Kalandra."Yang benar, saya yang tergila-gila dengan putri Ibu."

Mereka berbagi gelak pelan setelahnya. Gelak yang setengah tulus, setengah dipaksakan, hanya agar suasana tidak canggung.

Usai basa-basi yang menghabiskan setidaknya lima menit, Suzi pamit untuk masuk kembali ke rumah, meninggalkan Kalandra serta Sofia, yang membetulkan kerut di pakaiannya, atau meremas kedua tangannya, tampak sedikit gugup dan malu. Selalu begitu, setiap mereka akan pergi berdua.

Kepadanya, Kalandra tersenyum.

"Sofia sudah siap?"

Sembari sekali lagi menyelipkan helai rambut ke belakang telinga, serta mengeratkan tali tas di pundak, gadis itu mengangguk. "Hm."

Ia menunggu hingga Sofia naik ke boncengan Vespa, memeluk pinggangnya, sebelum melajukan kendaraan bermotor itu melewati jalan berkerikil, hingga ke jalan besar yang beraspal. Kendaraan roda dua itu meluncur pelan, dengan wangi minyak harum yang gadis itu sematkan di pakaiannya menguar di udara. Juga hangat darinya yang memeluk Kalandra.

Kelak di masa depan, hubungan ini akan terus berlanjut. Mereka akan sering pergi jalan-jalan berdua. Mungkin di tahun-tahun berikutnya, dengan satu atau dua anak di antara mereka. Dan masa depan seperti itu ... adalah seperti rencana yang aman, yang Kalandra dan keluarganya inginkan. Masa depan seperti itu ... telah ada di depan matanya sekarang.

Tinggal sedikit lagi, dan semuanya akan terwujud.

Kalandra hanya perlu melakukan satu hal; berpegang teguh pada rencana itu.

"Tunggu di sini. Aku akan mengantre karcis," pesan Kalandra begitu mereka melewati pintu masuk, berjalan menuju bangku-bangku panjang yang berjejer di dekat pintu.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now