29. Mengejar Penghujung Senja

5.1K 738 82
                                    


"Apa yang kau katakan?"

Pertanyaan itu, Mama menjawabnya dengan dingin.

"Berdiri, Kalandra! Hari ini kau akan bertunangan dengan Sofia!" Nada suaranya meninggi, gusar. Malu, oleh semua orang yang menatap.

Tetapi, Kalandra tidak beranjak dari tempatnya.

"Kalandra!!!"

"Aku tidak mencintai Sofia. Aku hanya mencintai Senja!"

Semua ini, semuanya, mengingatkan Kalandra pada masa lalu. Ketika ia mengatakan dengan lantang perasaannya untuk Senja. Yang ditentang sama lantangnya. Yang membuatnya digiring paksa untuk pulang, lalu dipasung dengan peraturan-peraturan yang membuatnya tidak dapat berkutik. Kendaraannya di sita dan uang sakunya dipotong. Bahkan surat-surat yang Kalandra coba kirimkan, atau surat-surat yang dikirimkan untuk Kalandra, tidak pernah menemui penerima masing-masing.

"Jangan berulah! Sebentar lagi kau akan menikah! Sekarang bangun!!!"

Ibu menarik lengannya, tetapi Kalandra berontak. Dia tidak ingin mengulang kejadian yang lalu. Dia tidak ingin lagi dirantai. Dia ingin bisa memilih dengan siapa dia akan hidup. Dan Kalandra, sudah bersiap, menghadapi segala tantangannya.

"Ma─"

"Mama tidak rela." Di luar dugaannya, Mama berhenti membentak. Ketika Kalandra mendongak menatapnya, dia menemukan ... air mata, di wajah wanita itu. "Mama tidak rela kau membatalkan pernikahan ini dan memilih perempuan itu. Mama sudah bersusah payah selama ini untuk menghapusnya dari hidupmu, Nak! Sampai kapanpun ... Mama tidak akan merestui kalian."

Dia menggeleng, wajahnya basah oleh airmata. Lalu, dia terduduk di lantai, di hadapan Kalandra. Tergugu dalam kecamuk perasaannya sendiri. "Bahkan Ibu juga harus meninggalkan pria yang Ibu cintai demi agar bisa berada dalam posisi terhormat seperti sekarang. Kenapa ... kenapa kau harus menghancurkannya?"

Dia menggeleng keras-keras. Menangis. Tersedak dalam tangisan. Kebaya dan riasan yang ia kenakan menjadi berantakan. Celak matanya luntur bersama air mata, menuruni wajah.

Tetapi, Kalandra tidak mengindahkannya. Tetapi Kalandra pergi, meninggalkannya. Seperti yang pria yang dia cintai dulu lakukan. Seperti yang suaminya dulu lakukan. Seperti Lingga. Semua orang pergi meninggalkannya. Satu persatu.

***

Rumah Sofia telah ramai oleh para tamu dan kerabat. Bangku-bangku disusun di sepanjang teras, tempat mereka duduk-duduk sembari mengenakan kebaya dan kemeja bagus. Kue-kue serta teko-teko cantik berisi teh dan kopi ditawarkan. Bunga-bunga segar mengisi vas-vas kecil di atas meja, yang berlapis taplak meja mahal dan wangi.

Kepala-kepala menoleh ketika Kalandra datang dengan langkah-langkah lebar dan wajah berantakan, lembab oleh sisa airmata. Juga, kemeja lusuh. Kalandra tidak membagi tatap kepada mereka. Tersendat-sendat karena kain ketat yang membungkus betisnya. Gadis itu telah mengenakan kebaya putih yang sangat cantik, selendang berwarna senada tersampir di atas sanggulnya yang rapi.

"Bang Andra? Sudah datang?" Gadis itu mengerutkan alis, keheranan dengan penampilan calon suaminya sekarang. Kepalanya dipanjangkan, coba melihat apa yang ada di belakang Kalandra, mencari-cari rombongan yang seharusnya ada di sana. "Mana yang lain?"

"Sofia," Kalandra memanggil, lembut. "Abang ingin bicara."

Detik itu juga, senyum Sofia runtuh. Seolah ia dapat membaca apa yang ingin pria itu sampaikan. Dari cara pria itu menatapnya. Dari rasa bersalah yang seakan menggantung di keningnya. Dari kedut bibirnya yang seolah begitu berat mengucap kata. Tidak begitu sulit untuk membacanya. Untuk menerka-nerka bahwa hal yang mungkin menjadi ketakutan Sofia, tengah berdiri di depannya.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now