25. Perihal Janji

2.7K 522 36
                                    

Senjakala, 1968

Di pasar tradisional dekat rumah nenek, tidak ada orang yang menjual bunga. Hanya di kota, sepertinya, ada budaya membeli bunga. Di desa, bunga hanyalah penghias halaman, itupun bagi yang berduit saja, yang tidak, lebih mementingkan menanam padi daripada menanam bunga. Bahkan di desa ini Kalandra pernah menyaksikan acara resepsi perkawinan hanya menggunakan bunga plastik, atau tidak sama sekali.

Jadi Kalandra mengayuh sepeda menyusuri jalanan desa. Pelan-pelan. Kepala ditengokkan ke kiri dan kanan demi mencari keberadaan satu bunga yang cukup indah untuk ia bawa. Mungkin ada rumpun bunga-bunga liar di tepi jalan, dia bisa mengikatnya dengan rumput dan memberikannya pada Senja, seperti film East of Eden yang ingin ia tonton Bersama gadis itu. Senja membaca novel itu, East of Eden, salah satu buku kesayangannya yang diberikan karena Senja membantu membersihkan rumah si pemilik novel.

Dan usai menghabiskan satu jam lamanya, ia menemukannya, serumpun mawar di pekarangan entah siapa. Halamannya berpagar putih yang ditumbuhi bunga-bungaan terawat. Terlihat seperti salah satu rumah orang berada.

Kalandra berdiri di depan pagar itu dan menyaringkan suara, memanggil seorang wanita yang tengah menampi beras di samping rumah.

"Tante!" panggilnya. "Tante!" Berulang-ulang ia memanggil, hingga wanita itu menoleh.

"Saya?" tanya wanita dengan dialeknya.

Kalandra mengangguk. "Boleh saya beli mawarnya?" Ia tersenyum lebar. "Setangkai saja."

"Maaf. Tidak dijual."

"Setangkai saja!"

"Tidak."

"Saya bayar berapa saja!"

Dia pulang dengan membawa tiga tangkai, semringah. Tiga mawar merah yang rekah sempurna, terikat rapi dengan pita yang ia beli di tukang jahit. Kepalanya dipenuhi perasaan bahagia, membayangkan akan seperti apa raut wajah yang ditampilkan Senja nanti.

Hari ini seharusnya menjadi hari yang penting. Hari ini tepat satu bulan semenjak mereka pertama kali bertemu. Yang harus ia lakukan sekarang hanyalah pulang, mandi agar wangi, memakai pakaian terbaik yang ia bawa lalu langsung pergi menemui Senja. Sampai sana, senyum tidak berhenti terukir di bibir Kalandra.

Namun begitu tiba di depan rumah nenek, ia melihat sebuah mobil yang tampak familiar. Rasa bahagia yang Kalandra rasakan rasanya menguap. Tidak pernah ada hal yang menyenangkan jika itu bersangkutan dengan ibunya. Kalandra memarkir sepedanya di sudut pekarangan dan masuk. Ia melihat wanita di sana, duduk di sofa dengan kipas angin berputar pelan di atasnya. Pakaiannya belum diganti, masih baju panjang di bawah lutut dengan ikat pinggang kuning cerah kesayangannya, sementara sanggul rambutnya tertata sempurna. Menandakan bahwa belum lama dia datang. Menandakan bahwa akan lama hingga dia pulang.

"Dari mana, Kalandra?" Belum Kalandra tiga langkah masuk ke rumah, Mama telah menegurnya.

Kalandra berhenti, menoleh, lalu mengendikkan bahu seolah tidak peduli dengan teguran memperingatkan wanita itu. "Jalan-jalan saja. Cari angin."

Tetapi tentu saja, wanita itu tidak mudah dibodohi. Kalandra menyadarinya, tatapan tajam sang ibunda pada ikat bunga di tangannya, yang kemudan berusaha dia sembunyikan.

"Apa itu?" Mama kembali mendesak.

"Bukan apa-apa," Kalandra menariknya ke balik punggung. "Aku berkeringat, mandi dulu, ya, Ma."

Dengan cepat, Kalandra melanjutkan langkahnya hingga memasuki kamar yang ia tempati. Betapa terperangahnya ia mendapati seluruh baju-bajunya, yang biasanya ia gantung di dekat pintu dan sebagian tersimpan di lemari, sekarang telah menghilang. Semuanya, hingga buku dan mainan yang ia bawa telah dikumpulkan ke dalam dua tas besar yang duduk di tengah ruang. Membuat kamar itu kembali terlihat kosong. Ia menoleh, pada Mama yang sekarang berdiri di pintu.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now