30. Hingga Senjakala (END)

7.3K 722 194
                                    

Tin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tin ... Tin ...

Kalandra memacu vespanya sekencang yang ia bisa. Terlupa tentang helm, jaket, atau apapun selain yang melekat di badan. Menyalip di antara laju sedan dan delman. Sekali, ia nyaris terserempet ketika mencoba mendahului sebuah sedan, hingga sang pengemudi menurunkan kaca dan berteriak marah.

"Hati-hati, Bung! Di mana matamu!"

Sekali, ia nyaris menabrak penjaja kerupuk yang tengah menyeberang jalan, meski beruntungnya dia berhasil membelokkan stang, menghindari gentong besar tempat kerupuk-kerupuk dimasukkan.

Namun untuk kali kedua, dia tidak berhasil lolos. Tidak seberapa jauh setelah dia menghindari penjual kerupuk, Kalandra masih berusaha menguasai arah dan gagal bersiap ketika sepeda penjaja arang melaju ke arahnya.

Keduanya nyaris bertabrakan, tetapi Kalandra lebih memilih membuang setir dan membuat dirinya sendiri terjatuh. Kaca spionnya pecah, celananya robek dan lututnya terluka. Beberapa orang seketika berkumpul untuk menolong, termasuk penjaja arang yang hampir dia tabrak tadi.

"Saudara tidak apa-apa?" Seorang pria setengah baya bertanya, membangunkan Kalandra.

"Dia pasti terkejut. Ayo bawa ke warung dulu, berikan teh manis!" Seseorang lain berkata.

"Benar itu. Ayo ke sana dulu."

Kalandra menatap langit, warna jingga seolah memenuhi dunia, membuatnya temaram. Sore akan segera berlalu. Senja datang sebentar lagi. Dan dia tidak punya waktu.

Jadi, dia mengabaikan luka di lututnya dan kembali duduk di atas vespa. "Saya tidak apa-apa. Saya sedang terburu-buru. Harus pergi."

"Mau kemana? Lututmu berdarah."

"Tidak apa-apa. Ada seseorang ... yang harus saya kejar."

Pria yang semula membantu Kalandra lalu menepuk pundaknya. "Kalau begitu semoga beruntung!"

***

Pelabuhan masih setengah perjalanan. Masih berkilometer jauhnya. Namun Kalandra harus menepi dan berhenti. Mesin vespanya mati, dan meski beberapa kali dia mencoba menyalakan, memperbaiki lalu menyalakannya lagi, tetap tidak berhasil.

Jadi terpaksa, Kalandra mendorongnya. Langkah demi langkah, hingga menjadi ribuan. Keringat bermunculan satu demi satu, hingga dia seperti bermandi peluh. Sebuah bengkel, belum ditemukan.

Menit berlalu seperti hitungan jam sejak Kalandra berdiri di bengkel itu, menunggui vespanya yang sedang diperbaiki. Sore telah beranjak turun. Bayangan senja mulai menari-nari di kaki langit sebelah barat.

"Bung, apa masih lama?" tanyanya pada si pemilik bengkel.

Pria yang bajunya lusuh terkena oli itu mendongak. "Masih lama, Kawan. Onderdilnya belum datang, sedang dibelikan anak saya."

Senjakala, 1977Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang