28. Rahasia Dalam Peti

4.7K 735 102
                                    


Senjakala, 1969.

"Permisi." Dengan gugup, ia mengetuk pintu kayu panti asuhan itu. Jaket serta rambutnya basah terkena hujan. Ujung-ujung jarinya terasa dingin, yang coba ia atasi dengan menyelipkannya ke saku.

"Permisi?!" Kalandra mengetuk lagi, kali ini ia meninggikan suara agar dapat didengar.

Pada ketukan kedua ini, mulai terdengar reaksi dari dalam. Langkah-langkah yang diayun dengan terburu ke arah pintu. Satu menit kemudian, pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya, mengenakan kebaya polos harian, rambutnya digelung seadanya.

"Ya? Mencari siapa?" tanyanya begitu selesai menatap Kalandra dari atas ke bawah dan menyimpulkan bahwa anak ini bukan seseorang yang dia kenali.

Kalandra tersenyum sembari berupaya mengusir gigil dari tubuhnya. "Aku mencari Senjani. Dimana dia?"

"Senjani?" Wanita itu mengerutkan alis. "Senjani yang berambut ikal dan cantik?"

"Ya, benar."

Ada raut sedih pada wajah wanita itu tatkala mendengar nama itu disebut dan tatkala ia terdiam seolah sedang memikirkannya. Ketika dia menatap Kalandra, dia menggeleng pelan. "Dia sudah pergi beberapa bulan yang lalu."

"Pergi?" Mata Kalandra melebar, sama sekali tidak menduga jawaban tersebut.

Tidak sampai setahun setelah kepergiannya yang terpaksa waktu itu, Kalandra akhirnya kembali. Ia mengumpulkan uang dan mengunjungi tempat ini lagi diam-diam, berharap, dapat melihat Senjaninya kembali. Tetapi hingga senja dia menunggu di gubuk, hingga di bawah hujan dia mencari-cari, gadis itu tidak datang, tidak terlihat. Hingga akhirnya, dia memberanikan diri bertanya langsung. "Kemana dia?"

Wanita itu menggeleng lebih kentara. "Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia ... pergi dengan begitu tiba-tiba. Tidak ada seorangpun yang sanggup menahannya."

Tidak ada petunjuk. Tidak ada kabar. Tidak ada apa-apa yang tertinggal.

Waktu ke waktu, Kalandra datang, menunggu di gubuk itu hingga senja datang dan pergi. Namun Senja yang ia nanti, tidak pernah kembali. Hingga tahun demi tahun berganti. Hidup terus bergulir. Kematian sang kakak, beban tanggung jawab yang ditaruh di pundaknya, membuat Kalandra harus menerima takdir.

Ia harus terus berjalan.

Dan ... meninggalkan segala tentang Senja di belakang.

Hingga, gadis itu kembali dalam bentuk sekotak kenangan yang membawa kembali badai ingatan ke dalam hidup Kalandra. Ia tidak siap. Tidak akan pernah siap. Karena rindu ... rasanya begitu menggelegak hingga tak terbendung.

***

11 November, 1977

"Sofia! Ada Nak Andra!"

Gadis itu tergopoh-gopoh. Setengah berlari dari dapur, ke pintu, lalu ke halaman. Ketika akhirnya berdiri di depan Kalandra, dia pun memasang wajah merajuk.

"Abang kemana saja? Abang sudah berjanji akan menemui Sofia sore ini. Sofia sudah menunggu selama berjam-jam!"

Sekarang sudah malam. Sore telah lama pergi. Sofia telah berganti pakaian, dari baju sorenya yang selutut dan berwarna biru langit, menjadi piyama sutera yang seharusnya ia gunakan untuk tidur. Dan memang, sekarang sudah waktunya untuk tidur.

Rasanya, ia marah sekali kepada Kalandra karena membuatnya menunggu dengan sia-sia, pakaian dan make up yang dia poleskan, juga terbuang sia-sia. Tetapi begitu menatap raut lelah di wajah pria itu, begitu menyadari jejak-jejak airmata di pipinya, Sofia segera terhenyak.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now