07. Sepotong Plester Luka

3.9K 903 122
                                    

Oktober 1968

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oktober 1968

Jam pelajaran terakhir, kelas mencongak yang begitu menguras energi berakhir setelah azan zuhur terdengar dikumandangkan. Sekitar pukul dua belas lewat lima belas. Perut Kalandra sudah keroncongan minta di isi dan kepalanya berdenyut minta diistirahatkan. Bukan main kelas mencongkak itu. Bu Ratmi akan berdiri di depan kelas, penggaris kayu mengacung, yang ia gedor-gedorkan ke papan tulis setiap memberi soal.

"25 x 12 : 5!" serunya.

Lalu, anak-anak dipaksa menghitung di dalam kepala mereka, tidak boleh membuat coretan di kertas. Bu Ratmi akan menunjuk, salah-salah menjawab, penggaris itu bisa melayang ke punggung. Dan sementara Kalandra kalang kabut berusaha mengira jawaban yang tepat, gadis di sampingnya seolah hafal perkalian di luar kepala. Membuat Kalandra sempat menjatuhkan rahang.

Sekarang kelas mengerikan itu telah berakhir, yang Kalandra pikirkan hanya dua hal; makan dan tidur. Tetapi begitu melihat Senja melesat seperti biasa begitu kelas berakhir, keinginannya berubah. Ia memutuskan untuk kembali ke rencana semula dan mengikuti gadis itu.

Siang itu, di bawah matahari terik, Senjani duduk di bawah pohon ketapang besar yang dahannya lebih lebar dari rentangan tangan orang dewasa. Ia bersila dengan akar pohon, rumput daun-daun kering di bawah kakinya. Namun ketika gadis itu membuka rantang makan siang yang dia bawa, seseorang mencurinya.

Gadis itu mendongak, menemukan Kalandra berdiri di depannya.

"Jadi kau mau balas dendam? Sekarang mau balas mencuri makanannku?" tuduhnya tidak terima.

Alih-alih kabur seperti yang gadis itu pernah lakukan, atau mendebat tuduhannya yang tidak berdasar, Kalandra justru tertawa. Ia melipat kaki dan mengambil posisi duduk di samping gadis itu, sebuah kotak makan siang ia tawarkan sebagai ganti.

"Mari bertukar," katanya.

Di sana, dikotak yang sudah Kalandra bukakan tutupnya, dia punya dua potong besar sosis, telur mata sapi, mi goreng dengan sedikit nasi, serta sebuah jeruk, kontras dengan rantang gadis itu yang hanya terdiri dari nasi dan sayung kangkung, tanpa lauk. Melihat menu di depannya, Senja meneguk ludah, tetapi tentu saja, hal pertama yang dia lakukan adalah protes pada Kalandra.

"Kenapa kau ingin bertukar?"

"Aku sedang ingin makan ini," jawab Kalandra tenang, menunjuk kangkung, lalu tanpa menunggu izin meraih sendok dan menyendok kangkung beserta nasinya.

Senja menatapnya. Dalam hati tahu, laki-laki itu hanya sedang berpura-pura. Kemungkinan terbesarnya, dia pasti miris melihat menu makanan Senja yang itu-itu saja. Ini bukan pertama kalinya Kalandra memergokinya makan di sini. Karena ia selalu tidak sempat makan pagi, lalu tidak sempat pulang. Ia harus pergi ke suatu tempat setelah ini. Kadang bahkan, kalau tidak sempat menanak nasi subuh-subuh, Senja hanya akan memakan putu mayang dagangannya saja.

Gengsinya mengatakan ia sebaiknya tidak menyantap hidangan itu, tetapi indera penciuman yang bekerja sama deng an perutnya berkata sebaliknya. Aroma makanan Kalandra ... terasa sangat menggoda. Ia meraih garpu laki-laki itu dan dengan kaku dan menancapkannya pada sepotong sosis.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now