15. Kincir Kertas dan Lukisan Senja

3.5K 795 86
                                    

Oktober, 1968

"Apa yang sedang kau buat?" Senja bertanya, dagunya yang lancip kemudian terasa menyender di ceruk pundak Kalandra dalam usahanya untuk mengintip.

Terlihat, cowok itu telah meraut sebilah bambu. Juga memotong-motong sebuah kertas tebal segiempat. Sekarang, ia sedang berusaha merekatkannya.

Kalandra menoleh. Hidung keduanya bersentuhan tanpa sengaja.

"Kau sendiri?"

Senja memeluk buku di tangannya erat-erat, menggeleng. "Aku ingin melihat punyamu lebih dulu."

Tidak butuh waktu lama, Kalandra menyelesaikan rekatannya di empat sisi berbeda. Ia kemudian merekatkan bagian tengah pada bilah, lalu memajangnya di udara. Sebuah kincir kertas. Ditiupnya benda itu, yang segera berputar, nyaris tanpa henti karena bantuan angin sore.

Kalandra tersenyum puas. Ia berhasil. "Selesai," serunya, kembali menoleh pada Senja.

Tatap mereka bertemu dalam jarak yang dekat. Dan Senja tersenyum. Matanya kemudian beralih menatap kincir yang berputar pelan, mengikuti angin.

"Sebuah kincir," kata Kalandra. "Kau bilang ingin pergi ke Belanda, melihat kincir raksasa."

Senja mengangguk, kekehannya terdengar pelan. "Ya. Aku belum pernah melihat kincir sebelumnya. Tapi kincir punyamu kecil!"

"Kau tidak mau? Kubuang saja?"

Kalandra sudah siap mencengkeram kincir itu, hendak membuangnya ke danau di depan mereka. Jika bukan karena Senja yang memegangi lengannya erat. Kemudian, mereka berbagi tawa. Di atas rerumputan di tepi danau.

Angin kembali menerbangkan kincir yang sekarang berada di genggaman Senja. Sebelah tangan gadis itu meletakkan kertas gambarnya di pangkuan Kalandra. Sebuah lukisan sederhana menggunakan pensil warna seadanya. Sebuah lukisan tentang Senja.

"Ini kesukaanku," simpul Kalandra, tersenyum. "Ini kau."

"Aku kesukaanmu?"

"Ya," jawabnya, mengecup bibir gadis itu singkat.

Senja terkekeh, kepalanya menggeleng kecil. "Tidak. Ini kau. Kita."

"Kita?"

Jemari ramping gadis itu lalu menunjuk matahari yang hampir tenggelam di horison, diwarnai jingga cerah. Lalu, jemari itu bergeser, menunjuk sesuatu yang terletak di ujung kertas, sesuatu yang samar di atas langit. Pertama kali melihat, Kalandra tidak memerhatikan, tapi sekarang ia menyadarinya.

"Ini ... bulan?" tanyanya.

Senja mengangguk. "Ini kita. Kau," ditunjuknya matahari itu, "dan aku," lalu ditunjuknya bulan.

"Ada bulan di siang hari?"

"Kau tidak tahu? Dunia ini punya aturan. Siang dan malam. Matahari merajai siang dan bulan menguasai malam. Tapi ... ada banyak juga pengecualian-pengecualian. Seperti kita."

Kini, fokus Kalandra tidak lagi pada lukisan di tangannya, tetapi pada Senja yang duduk di sisinya. Senja dan senyumnya.

"Kau lihat, kita sangat berbeda. Bagiku, kau seperti matahari, begitu cerah dan panas. Aku bulan. Kata orang, keduanya tidak mungkin bertemu. Kita, juga tidak seharusnya bertemu. Tapi mereka tidak tahu, saat Senja, sesekali, kita bisa melihat mereka bersama. Matahari dan bulan. Meski jarang. Meski hanya sementara."

Kalandra memerhatikan lukisan Senja itu lagi, kemudian langit di depan mereka dan tersenyum. Ia tidak menyadari sebelumnya. Tetapi jika diperhatikan, ya, ia dapat melihat keduanya bersampingan, terpisah jarang namun tetap berada di langit yang sama. Meski samar. Meski hanya sementara. Gelap sebentar lagi akan datang dan ... matahari akan lenyap. Hanya bulan yang akan tinggal. Sendirian.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now