23. Dapatkah Hati Berganti Pemilik? Ataukah Dia Tidak Pernah Pergi Sejak Awal?

2.8K 584 59
                                    

"Eh, calon pengantin sudah datang."

Adalah Basuki, pria yang Kalandra temui sebelumnya ketika mengantar Sofia menyambut mereka. Namun kali ini, Kalandra tidak hanya sebatas mengantar. Sofia segera menggandengnya untuk masuk bersama, disambut Basuki dengan senyum semringah.

Basuki adalah pria kurus dengan rambut yang tipis, menunjukkan dahi yang lebar. Hidungnya tidak mancung dan melebar, dan rahangnya menunjukkan maskuliniti yang ditutupi pemerah pipi samar. Ia memiliki sebuah salon kecantikan yang cukup besar, yaitu tempat yang mereka jejak sekarang, dengan tiga orang pegawai wanita di dalamnya. Basuki juga rupanya membuka jasa tata rias pengantin berikut menyewakan pakaiannya.

"Adek ini mau memakai baju yang seperti apa?" Basuki bertanya dengan nada lembut seperti perempuan kemayu. "Baju Minang? Baju Bugis? Adat India? Semuanya ada."

Sofia terkekeh. "Boleh melihat-lihat dulu?"

"Tentu. Sebentar, akan kuambilkan gambar-gambarnya."

Tidak berapa lama, Basuki kembali bersama seorang pegawai wanita yang menyajikan teh. Ia membawa sebuah album foto besar.

"Semuanya ada di situ. Lihatlah!"

Album itu berisi banyak foto-foto busana pernikahan. Sebagian Kalandra dapat menyebutkan asalnya. Seperti pakaian pengantin barat yang mengenakan busana putih dengan bawahan mengembang, kebaya, pakaian adat Sunda, pakaian adat dengan kain di kepala, pakaian India lengkap dengan sari dan bindi, juga pakaian timur tengah.

"Mana yang Abang suka?" Sofia bertanya setelah membolak-balik beberapa halaman terakhir.

Jujur saja, Kalandra tidak terlalu memperhatikan. Belakang, sulit baginya untuk fokus. Jadi ia balas menatap Sofia. "Sofia sendiri?"

"Entahlah, ada banyak sekali yang Sofia inginkan. Tidak tahu harus memilih yang mana." Sofia merengut. Ia membalik beberapa halaman, dari yang pertama.

Ia menunjuk sebuah foto hitam putih gaun pengantin sederhana, dengan lengan panjang yang mengembang di bagian bawah dan potongan leher tinggi.

"Yang ini seperti gaun pernikahan Audrey Hepburn, bukan?" katanya bersemangat. "Cantik sekali. Tetapi, yang ini juga cantik."

Kemudian dia menunjuk sebuah gaun lain yang kali ini berwarna gelap alih-alih putih. Tampak terbuat dari kain beludru lengkap dengan topi dengan hiasan mawar dan jaring, serta bunga di bagian dada. Bagi Kalandra, pakaian itu memberikan nuansa Eropa yang kental, mengingatkannya pada Belanda, tempat dimana nenek moyang Sofia berasal.

Pada sebuah gaun pengantin putih berlengan pendek yang menggembung di bagian pundak, penuh berhias manik-manik, dia menggeleng. "Yang ini terkesan terlalu tua."

"Ah, yang ini juga manis," katanya lagi, menunjuk gaun tradisional adat Jawa dengan pakaian hitam-hitam, tetapi dengan veil yang menudungi pengantin perempuan.

"Yang ini juga. Tampak mengesankan." Lalu sebuah gaun putih berenda, dilengkapi sarung tangan renda dan mahkota bunga di kepala.

Tatapan Sofia lalu beranjak pada Kalandra. "Bagaimana, menurut Abang?"

Kalandra meraih album itu untuk melihat beberapa foto lebih dekat. Foto-foto yang Sofia tunjukkan, juga beberapa foto lain. Tatapannya terhenti pada sebuah gaun sederhana. Mungkin yang paling sederhana di antara gaun-gaun dalam kumpulan foto itu. Gaun berwarna putih tulang yang panjangnya hanya di bawah lutut, tidak sempit tetapi tidak juga begitu mengembang. Kainnya satin, tanpa renda, tanpa lengan atau leher yang penuh hiasan. Tanpa bunga-bunga besar yang biasanya melekat di gaun atau kerudung pengantin. Tanpa mahkota bertatah permata.

Gaun sederhana. Tetapi berhasil memikat Kalandra.

"Cantik," gumamnya, nyaris tanpa sadar.

"Menurut Abang begitu?" Sofia mengerutkan alis. Ini bukan salah satu gaun yang dia pilih maupun yang ingin dia pilih. Terlalu ... sederhana.

Senjakala, 1977Where stories live. Discover now