Dewasa

152 11 1
                                    

POV Naira

Kepada sukma, yang terus membisikkan kalimat sumpah serapah,
bahwa yang pergi memang tidak akan pernah kembali.
Luka yang bagai kutukan menemani sedari langkah masih kecil
hingga diri yang makin dewasa,urat-urat yang makin membesar
hingga rambut yang kian memanjang.

Kepada sukma, yang makin melukiskan benci tanpa tahu kapan
akan tereliminasi, menjeritkan kalimat paling menyedihkan dari
palung paling rahasia. Aku semakin betah dengan rasa yang sedari
kecil ditancapkan. Seharusnya tidak begini,tapi diri tidak bisa terlepas
dari kurungan luka yang menyambangi. Aku harus terima, bila mau
melanjutkan hidup yang semestinya.

Sepatutnya mereka, aku tetap menjalani hidup walau dunia sudah benar-benar berubah. Kata ibu masih banyak yang dapat disyukuri walau kataku luka itu berhasil merajai. Entah apa yang patut disyukuri, selama ini aku hanya menjalani hidup selaiknya kepompong tanpa isinya. Dulu, aku bersekolah hanya bertemankan pada buku tanpa mau melibatkan dan mengundang siapapun untuk hadir diduniaku, karena bagiku—aku sudah tidak ada lagi dunia, duniaku telah berada pada negeri antah berantah, telah asing, aku tidak dapat menemuinya walau telah mencarinya sampai ujung dunia yang kutau.

Aku hanya menjalani hari sebagai diri tanpa jiwanya, sebagai kaleng tanpa airnya dan sebagai kandang tanpa anjingnya. Tidak ada yang menggairahkan, selain mencari sosok yang kemungkinannya hampir ada dan tiada. Ibu sudah ikhlas dengan semua yang terjadi tetapi tidak bagiku, bagaimana bisa mengikhlaskan luka yang telah membuat duniaku kacau-balau, hancur-lebur hingga tidak tersisa sedikitpun aku yang dulu. Bagaimana aku bisa mengikhlaskan luka yang tak pernah mendapat kejelasan sedari kepergian itu. Bagaimana aku bisa mengikhlaskan sebagian dari diriku yang hilang dibawa langkah yang sampai kini tak pernah kudengar lagi. Bila kutanya pada ibu, ia hanya terdiam, jari jemarinya saling mengerat dan tak lama buliran bening ia teteskan pada pipinya yang keriput. Sampai kini, aku menyimpan luka itu di sukma paling dalam hingga nanti jika waktu mempertemukan, aku akan mengeluarkannya dengan tegas dan lantang, dan sampai pada akhir, aku juga penasaran—apakah aku bisa untuk mengikhlaskan?

Aku telah berusia dua puluh lima, usia yang sudah matang kata orang untuk menciptakan keluarga baru, tapi tidak bagiku. Usia ini masih terlalu muda untuk meninggalkan ibu, aku tidak mau terlalu dini meninggalkannya dirumah seorang diri. Aku tidak mau ibuku terpandang seperti seorang sebatang kara. Kalaupun nanti aku benar-benar menikah, aku tidak mau meninggalkan rumah. Itu janjiku terhadap diri sendiri.

"Assalamu'alaikum bu, Rara pergi dulu ya,"

Aku pamit kepada ibuku dan mencium tangannya. Seperti kataku, hidup harus terus berlanjut, aku sampai pada usia dewasa, usia yang sudah bisa menjadi wali dan usia yang sangat layak untuk mencari nafkah. Sejak ayah pergi, ibu menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga, ia bekerja kesana kemari tak kenal jarak, tak kenal lelah dan tak kenal usia. Aku sudah bekerja sedari umur dua puluh, berawal dari magang hingga menjadi karyawan tetap, ya hidup yang kata ibu masih bisa disyukuri.

Pagi ini aku berangkat kerja dengan langkah santai, aku sengaja bangun lebih pagi dan berangkat kerja saat matahari belum tinggi. Aku suka berjalan-jalan di kota Waru ini, kota kelahiranku dan sekaligus kota yang menjadi saksi atas kehancuranku dua belas tahun lalu.Kota ini begitu ramah walau jarang terjamah, udaranya sejuk walau musim kemarau datang menyapa, masyarakatnya ramah tamah kecuali ayah. Iya, ayah bagiku tidak lagi masuk kategori baik, sejak saat itu aku tidak mendapatkan lagi kasih sayang seorang ayah.
Dan kini, ayah bukanlah ayah bagiku, ia hanya orang asing yang pernah mampir pada hidup ibu. Dan aku—seharusnya tidak pernah tercipta.

Aku bekerja di salah satu perusahaan penerbitan buku, aku seorang editor. Setiap harinya banyak sekali naskah yang masuk ke email redaksi dan aku harus memeriksanya, tak jarang jatah weekendku terpakai. Tapi aku tidak begitu acuh, karena bagiku mau weekend ataupun tidak, sama saja. Sama seperti dua belas tahun lalu, tidak ada figur ayah yang akan mengajakku pergi berlibur menikmati akhir pekan.

BARA [END]Where stories live. Discover now