Rahasia yang mulai mencuat-I

110 7 0
                                    

POV Naira

Pagi ini seperti pagi biasanya, aku berangkat dengan berjalan kaki sembari ditemani earpods merah jambuku. Bagiku musik dipagi hari bisa membuat mood yang baik sebagai langkah awal menjalani produktifitas pekerjaan yang melelahkan. Selain itu berfungsi juga untuk mengalihkan pikiranku yang selalu minor setiap pagi, ingatan tentang ayah selalu muncul saat aku bertemu dengan kucing-kucing jalanan itu. Bagaimanapun aku tidak bisa mengabaikan kucing-kucing itu, kalau dipikir-pikir lagi mereka sama menyedihkannya denganku, tapi bedanya mereka tidak punya rumah untuk pulang sedangkan aku tidak punya ayah untuk mendapatkan kasih sayang.

Yah, walau begitu hidup harus tetap dijalani 'kan? Sama seperti kucing-kucing itu,walau jarang dapat makan dan tidak ada tempat pulang tetapi mereka masih berkeliaran dijalanan sebagai upaya mempertahankan dirinya sendiri, bukan mengurung diri disebuah gudang dan merutuki kalau mereka adalah kucing paling tidak beruntung di muka bumi. Setidaknya kucing-kucing itu lebih baik daripada aku--yaitu aku yang pernah memusuhi dunia sebab hari itu.

Aku sampai di gedung tempatku bekerja, tetapi seperti biasa, aku harus sarapan terlebih dahulu di kantin Si Mbok, kalau tidak penyakit maghku bisa kambuh, inilah mengapa setiap hari ibu sangat cerewet mengingatkanku makan.

"Assalammu'alaikum, Mbok,"
"Eeeh Mbak Naira. Wa'alaikumussalam, mau sarapan ya?"
"Enggak Mbok, mau joget," Si Mbok tertawa, "Yaiyalah, Mbok mau makan."
"Hehe, sudah Mbok siapkan disitu,"
"Loh, tumben,"
"Tadi Mas Bima kesini nyuruh Mbok nyiapin itu sebelum Mbak Naira datang, katanya takut Mbak Naira udah kelaperan,"
"Serius, Mbok? Bima kesini dan bilang gitu sama Mbok?"
"Iya Mbak, gak mungkin Mbok bohong, kalau bohong nanti Gusti Allah marah, iih serem, takut." Si Mbok berkata sambil bergidik ngeri memperkuat ujarannya.
"Yaudah makasih ya Mbok." kataku, kemudian meninggalkan Si Mbok dan menuju meja yang telah terhidang menu nasi goreng dan teh anget jeruk purut itu.

Aku tertawa melihat meja yang sudah terhidang, bisa-bisanya Bima melakukan ini kepadaku, belajar darimana ia bersikap sok romantis gini, apa mungkin dari ayahnya? Kalau benar iya, pasti ayahnya adalah ayah yang sangat manis. Aku memotretnya sebelum duduk untuk menyantap sarapan itu, tujuannya untuk kukirimkan ke Bima dan meledeknya.

Terimakasih sarapannya, wahai dewa kejutan. Aku sangat menghargainya.

Aku kirimkan pesan teksnya beserta foto makanan yang aku ambil tadi. Sambil menunggu balasannya, aku mulai memakan sarapanku yang kali ini hadir dengan bumbu berbeda. Hem.. rasa tehnya lebih terasa manis dan nasi gorengnya lebih terasa gurih, ada apa gerangan? Bisa-bisanya aku melahap sarapan dengan tersenyum-senyum tidak jelas begini, apakah Bima memasukkan bumbu merah jambu didalamnya?

"Bim, sekarang aku percaya kalau kamu memang dewa kejutan."

***

Hari yang membosankan, karena aku harus merevisi banyak naskah hari ini. Walau begitu, aku harus menyelesaikannya, bertanggungjawab sampai akhir lebih penting daripada terus mengeluh dan merutuki pekerjaan yang serasa diperbudak waktu. Tapi setidaknya hari ini tidak begitu monoton karena ulah Bima tadi pagi, kalau teringat itu aku selalu senyum-senyum sendiri di depan monitor, dan pastinya hal ini dapat mengundang kekepoan Nayla.

"Senyum-senyum mulu lo, udah kayak abis ditembak cowo,"
"Yee sirik,"
"Ngapain sirik, kan lo yang jomblo,"
"Eh, btw. Kamu belum putus juga?"
"Naira!"

Nayla beteriak dan sukses membuat semua mata memandang kearah kami dan merusak konsentrasi semua pekerja di ruangan ini.

"Tuh kan, gara-gara kamu semuanya jadi ngeliatin kita, Nay,"
"Ya lo lagian mancing-mancing amarah gw aja,"
"Yaaa wajar kali aku nanya gitu, kan kamu biasanya setiap tiga bulan sekali ganti pacar,"

BARA [END]Where stories live. Discover now