Bias yang jelas

36 3 0
                                    

POV Naira

Semua yang dulu bias kini sudah jelas, ternyata ayah tak pernah pergi meninggalkan kami, ayah ada disini, disampingku dan disamping ibu. Ia ada namun tak terlihat, ia ada namun tak dapat disentuh. Kepergiannya dua belas tahun lalu dari rumah ini ternyata bukan kepergian yang sebenar-benarnya tetapi kepergian yang selama-lamanya. Aku ingat kalimat pada naskah itu,

"...ayah telah meninggal dunia, ia meninggal karena sebuah kecelakaan. Namun sebelum itu, kamu harus tahu—ia pergi untuk menemuimu, aku tidak tahu apa yang ingin ayah sampaikan, namun aku yakin—ia pergi sebab sangat mencintaimu."

Ayah pergi untuk menemuiku. Ya, di waktu terakhirnya ternyata akulah yang menjadi tujuannya, ayah ingin menemui aku dan ibu. Ayah tidak pergi, ia ingin kembali kepada kami pada hari itu, tetapi semesta mengambil alih dirinya. Dan kemudian aku teringat kalimat Bima waktu itu,

"Karena kamu adalah seorang anak yang setia menunggu ayahmu kembali walau kamu tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil."

"Hal yang mustahil" pada saat itu, aku sama sekali tidak menyadari akan hal ini. Kemudian,

"Karena ayah kamu yang membuat hubungan kita ada, Naira."

Akhirnya, aku berhasil memahami perkataannya waktu itu. Iya benar, ayah yang menciptakan hubungan ini, seandainya ayah tidak pernah mengadopsinya maka Bima tidak akan pernah hadir dihidupku, kini aku bingung—apakah aku harus bersuka cita atas kebahagiaan yang pernah Bima sematkan pada hari-hariku ataukah aku harus kembali merenungi luka yang tak secara langsung tertorehkan di setiap hari-hariku bersamanya.

Aku juga teringat akan kalimat ini,

"Naira, jika kamu tidak bisa melihat Harry pada diriku, mungkin aku memang bukan Harry. Aku hanyalah seorang Bima yang jatuh cinta kepada kamu tanpa disengaja."

"..tanpa di sengaja". Sekarang aku paham dan aku percaya akan perkataannya yang mengatakan bahwa ia tak pernah berencana untuk jatuh cinta kepadaku, seperti aku yang tak pernah menyangka kalau aku akan jatuh cinta kepadanya. Hari-hari yang tercipta dari waktu kebersamaan kamilah yang membuat cinta itu ada. Bukan salah aku yang menaruh hati juga bukan salah Bima yang memilih bersama, bukan juga salah detik yang menuntun kami jatuh cinta, tidak ada yang salah. Semua hanyalah garis takdir yang harus dilalui.

Dan perkataannya yang cukup ambigu bagiku waktu itu,

"Naira, aku berharap hubungan kita bukanlah hubungan yang menciptakan air mata baru, aku berharap hubungan kita adalah hubungan yang dapat menciptakan seulas senyuman baru, senyuman kelegaan, dan senyuman oleh karena ketenangan. Aku mencintaimu."

"Aku juga berharap begitu, Bim.". Namun, harapan itu tidak terwujud. Benar, hubungan kita adalah hubungan yang menciptakan air mata baru. Untuk "senyuman oleh karena ketenangan", aku paham. Itu tentang Bima, Bima yang selama ini memimpikan hidup yang tenang, yaitu hidup tanpa rasa bersalahnya kepadaku. Waktu di rumah sakit kemarin, Bima berulang kali meminta maaf kepadaku, aku sangat memahami perasaannya namun aku juga ingin dimengerti, bahwa aku belum bisa memaafkannya begitu saja.

***

POV Bima

Semua yang dulu bisa kini sudah jelas dan benar saja hubunganku dengan Naira pun ikut kandas. Akhirnya kalimat yang paling aku takutkan terlontar dari lisan Naira, "..aku enggak mau ngelihat kamu lagi.". Perkataanya itu sangat membuat hatiku terpukul, aku tidak bisa mendebatnya, memang benar, aku telah bersalah. Aku telah bersalah karena bersembunyi dan Naira benar kalau aku takut untuk keluar dari persembunyian itu walau cuma selangkah, tetapi kini—aku akan menyelesaikan semuanya. Aku akan keluar dari persembunyian itu dan menceritakan yang sebenar-benarnya kepada ibunya Naira. Nanti, setelah Naira pulih, aku dan ibu akan mendatangi rumahnya.

Jika waktu dapat menuntun kami bertemu, mengapa waktu tak bisa menuntun kami untuk bersama? Mengapa waktu harus menuntun kami untuk sebuah perpisahan? Aku terus merenung, apakah benar aku tidak pernah ditakdirkan untuk Naira? Aku sudah terlampau jauh mencintainya, untuk pergi darinya-aku rasa aku tak mampu, tetapi aku sendiri pun tak akan sanggup bila harus berada disampingnya dan menyaksikan ia begitu terluka karena diriku, ternyata rasa bersalahku berhasil menutupi keinginanku untuk terus bersamanya. Aku tahu, ada begitu banyak rahasia yang di siapkan semesta, dan aku juga yakin bahwa semua rencanya-Nya adalah yang terbaik, termasuk semua yang terjadi di masalalu dan juga yang sedang terjadi saat ini. Dan mungkin, ditakdirkan untuk tak bersamanya, juga hal yang baik.

Nurani sudah terlampau jauh menyesali, namun kini tak berarti lagi. Penyesalan memang selalu ada, penyesalan memanglah selalu datang belakangan. Seandainya manusia diberi remote control untuk dirinya bisa melihat gambaran masa depan, mungkin saja apa yang terjadi saat ini tak akan pernah jadi kenyataan. Tetapi kita semua tahu, bahwa hal itu memanglah mustahil. Manusia memang hanya bisa berandai-andai, namun belum tentu bisa melakukan dan memperbaiki hal yang salah menjadi benar, oleh karena itu—Tuhan selalu hadir di tengah-tengah. Dan aku, sebagai seorang hamba selalu percaya, bahwa yang akan terjadi kemudian, adalah hal yang paling baik untuk diriku.

Kebodohan dan kepengecutan yang kumiliki sebagai Bima, mungkin saja adalah cara Tuhan untuk menjagaku, mungkin ia tahu kalau saja aku memiliki sifat kebalikan, aku bisa menjadi seorang yang buas. Namun hal ini juga tak pantas untuk aku jadikan alasan bahwa aku tak bersalah sudah menyakiti Naira, bagaimanapun aku telah bersalah. Aku telah menetapkan pilihan yang salah, oleh karena itu Tuhan hadir di tengah-tengah untuk meluruskan benang yang sudah terlanjut kusut oleh karena ulahku.

Bima yang tersematku padaku, harusnya bisa menjadi perisai untuk orang-orang disekitarku, tetapi nyatanya aku menjadi trisula yang menyakiti mereka. Aku telah mengecewakan ayah karena menjadi lelaki yang pengecut, aku telah menyakiti ibu karena tak mampu memberikan ketenangan pada hidupnya dan kini aku menyakiti Naira dan ibunya karena kejelasan yang selama ini aku kubur dalam-dalam. Nama Bima yang tersematkan padaku ternyata hanya aksesoris untuk sebuah nama bukan sebagai sebuah perlindungan untuk halang-rintang dari semesta.

Bima. Akan jadi Bima yang seperti apa, aku setelah ini?

***

BARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang