Usai

30 3 0
                                    

POV Naira

Persembunyiannya di balik hidupku benar-benar membuatku tak habis pikir. Bima dengan rencana-rencananya berhasil membuatku menyadari bahwa memang banyak sekali hal yang tidak aku ketahui, sekalipun di balik punggungku sendiri. Ia membuatku menyadari bahwa dunia memang tidak pernah bisa berisi dengan hal-hal yang baik-baik saja. Pasti selalu saja ada hal-hal yang tak pernah kita harapkan hadir, namun mereka hadir dengan begitu leluasanya dan membuat kita akhirnya menyadari bahwa hidup memang tak selamanya hanya bisa diwarnai dengan suka-tawa-bahagia.

Ada kalanya, masa membawa kita ke sebuah istana megah dengan banyak keistimewaannya, tetapi ada kalanya juga masa membawa kita ke sebuah istana sepi, sunyi dan suram, yang dimana hanya berisi dengan debu-debu dan sawang-sawangnya yang bergelantungan. Ada kalanya semesta memberikan waktu untuk kita bercanda, namun ada kalanya juga semesta memberikan kita waktu untuk berduka. Semuanya sudah dirancang dengan kombinasi yang adil, namun kita sebagai manusia dengan sifat serakahnya, selalu ingin terus bahagia tanpa adanya kehancuran dan air mata. Bukankah itu hal yang lumrah? karena memang begitulah manusia. Namun kendati begitu, manusia juga dianugrahi kesempatan untuk memperbaiki segala hal-hal yang salah. Itupun jika kita memang benar-benar berniat untuk memiliki hidup yang lebih baik lagi kedepannya. Itulah yang aku renungkan sekarang.

Kejelasan yang telah bertahun-tahun aku tunggu akhirnya muncul dipermukaan dan menghampiriku dengan belati yang bersembunyi. Bohong, jika aku tidak marah dan membenci. Namun aku juga bohong, jika aku mengatakan bahwa aku sudah tidak lagi mencintai. Tak menutup kenyataan bahwa ia pernah membuatku bahagia, ia juga sering memberikan warna pada kanvas hidupku yang sebelumnya hanya berisi goresan-goresan tinta hitam dan kelabu, dan ia juga pernah menjadi harapan bagiku, bahwa jika dengannya—aku pasti akan baik-baik saja. Namun lagi-lagi, harapan selalu menjadi entitas yang berbatasan pada ruang dan waktu dan aku sudah tak lagi memiliki kesempatan untuk itu.

Tak terlepas dari banyaknya masalah yang menghampiri, aku hanya berharap untuk kedepannya aku bisa hidup dengan lebih baik lagi. Hidup dengan pribadi yang tak pernah kehilangan dirinya sendiri, hidup dengan pribadi yang hatinya tak sering digunakan untuk membenci, hidup dengan pribadi yang raganya tak pernah sekalipun lagi menghindari isi-isi dunia yang ingin sekedar mampir ataupun ingin selalu hadir. Aku ingin rehat dari segala luka yang berhasil merajai hidupku selama ini. Aku ingin berani melangkah, menjejaki masa-masa yang dirancang semesta dengan begitu apik maupun begitu pelik. Aku Naira, yang akan belajar ikhlas dengan segala kehilangan yang sempat aku punya dan akan belajar menerima ketidakutuhan di dalam keluargaku, mulai saat ini.

***

"Kamu enggak akan lupain aku kan, Nay?" tanyaku saat sebelum Nayla terbang ke Malaysia.

"Ah elah lebay amat lu. Gw ke Malaysia, Ra bukan ke surga."

"Lho, jadi kalau kamu ke surga, kamu akan lupain aku?"

"Ya iyalah, ngapain ke surga ngajak-ngajak kamu, surga yang indah itu sayang kalau dibagi-bagi."

"Ih Nayla, enggak gitu ajaran islam. Biar aja kamu kena marah sama Allah."

"Hahahhaa. Duh, gemes banget si sama dedek Raraaa. Jadi enggak kepengin pergi, deh."

"Yes!" ujarku senang.

"Yaudah, enggak usah pergi ya, Nay. Ok!"

"Tapi sayang, gw bercanda tadi."

"Ish! Nyebelin." gerutuku kesal

"Hahhaha. Tenang aja, gw usahain tiga atau empat bulan sekali pulang ke Indonesia."

"Lama kali."

"Yaudah tiga atau empat tahun aja."

"Naylaa!" pekikku ngambek.

BARA [END]Where stories live. Discover now