Perencana

67 5 1
                                    

POV Naira

Mentari menyapa bumi
Diri menyesap kopi
Hari dibaluti benci
Aku salah, ternyata bukan benci
Melainkan hati yang masih mencintai

Ada kalanya, kita tidak bisa memahami hati sendiri. Terkadang, merasa benar padahal salah, kadang juga merasa benci ternyata mencintai. Aku selalu mengatakan kalau aku membenci ayah, tetapi aku tidak menyadari ternyata kata benci yang sering aku gaungkan, melainkan adalah kerinduanku yang sudah teramat besar. Aku sangat merindukan ayah, dan karena itu aku marah, aku marah kepadanya karena tak pernah datang, hingga akhirnya hanya kata bencilah yang pantas untuk aku gaungkan. Kini aku menyadari, aku tidak pernah bisa membenci ayah. Semakin aku melantangkan kata benci, semakin besar pula kerinduanku terhadap ayah.

"Bima, kamu pernah gak. Bilang benci padahal sedang rindu?" tanyaku disela-sela menyantap sarapan pagi.

Sejak pacaran dengan Bima, kami sering sarapan berdua di kantin Si Mbok. Kata Bima, aku makannya harus ditemani kalau enggak nanti ada lelaki yang mendekati. Bima tuh, memang ada-ada saja kelakuannya.

"Karena aku manusia pasti pernah bohong lah, Nai. Cuma untuk kasus yang kamu tanyakan, jujur aku belum pernah. Kalo benci, aku bilang benci. Kalau rindu, aku bilang rindu. Dan kalau aku sedang mencintai, itu pasti kamu orangnya."

"Ih Bima, apaan sih." aku mencubit kecil pinggangnya.

"Kamu itu punya hobi baru ya? Sukanya nyubit-nyubit aku melulu."

"Lagian, sih kamu. Aku nanya serius malah ngegombal."

"Lho, kan sebelum ngegombal aku udah jawab serius."

"Iya, sih. Tapi kenapa harus pake gombalan?"

"Karena kita pacaran."

"Ha?"

"Ya, kalau aku pacaran sama Si Mbok. Gak mungkin aku ngegombalin kamu, Nai. Nanti Si Mbok cemburu, gimana? Mau tanggung jawab?"

Aku tertawa, "Enggak mau. Kalau kasusnya begitu, maka aku akan rebut kamu dari Si Mbok."

"Memangnya bisa? Gimana caranya?"

"Gampang. Aku cuma butuh telur lima kilo untuk ngambil kamu dari Si Mbok."

"Ahahaha, memangnya aku kartu sembako?"

"Iya, Bim."

Begitulah percakapan yang sangat tidak bermanfaat selalu terjadi disetiap paginya. Dengan seperti ini, hubunganku dengan Bima menjadi lebih dekat. Bahagia yang dulu menurutku selalu memusuhi, kini hadir dengan sebegitu mudahnya. Ternyata benar, jika bahagia mudah tercipta, maka Bimalah penciptanya.

"Naira."

"Iya?"

"Kalo suatu saat nanti kamu benci aku, karen-"

"Apaan sih, Bim. Kenapa aku harus benci kamu? Gak usah ngomong aneh-aneh deh." "Ya, kan kita gak bisa nebak apa yang akan terjadi kemudian. Bisa aja hubungan kita gak baik-baik aja."

"Urusan nanti ya nanti, Bim. Sekarang ya sekarang. Lagipula, memangnya bisa aku benci kamu? Ya, kecuali, kamu selingkuhin aku atau kamu pergi ninggalin aku tanpa pamitan."

"Naira, mungk-"

"Aku gak mau ada yang pergi lagi dari hidupku, Bim. Ayah udah pergi, Nayla juga mau pergi. Terus nanti, kamu mau pergi juga? Apa aku gak layak mendapat keutuhan yang permanen? Aku gak pantas bahagia, Bim? Aku cuma mau merasakan utuh dengan waktu yang lama. Aku cuma mau disetiap pertemuan gak akan ada lagi perpisahan. Kenapa aku harus berkali-kali mengikhlaskan kepergian? Aku gak mau ngerasain kehilangan lagi, Bim."

BARA [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz