Seutas Angan

120 8 1
                                    

POV NAIRA

Dering alarm pukul 5 pagi membangunkanku. Aku lekas menunaikan ibadah shubuh, dan mandi untuk bersiap berangkat ke kantor. Jangan heran, sudah kubilang, aku paling suka berangkat pagi-pagi sekali dengan berjalan santai menuju kantor. Aku suka menghirup udara shubuh dan sejujurnya ada rutinitasku yang tidak diketahui orang lain, selain aku dan Tuhan. Aku suka memberikan makan ke kucing-kucing jalanan. Di tasku pasti selalu ada makanan kucing jenis dry food. Kasihan kucing-kucing itu, ada yang korban pembuangan, ada juga yang jadi korban tabrak lari, tidak ada yang memberi makan apalagi tempat tinggal. Sebenarnya aku mau saja jika membawanya kerumah namun ibu ada alergi terhadap kucing, aku tidak bisa mengabaikan ibu untuk memberi tempat tinggal kepada kucing-kucing itu. Aku hanya bisa memberinya makan setiap hari.

Kucing-kucing itu begitu lucu, mereka makan dengan lahap. Tubuhnya yang kurus menandakan mereka jarang sekali dapat makan dari warga sekitar, aku juga hanya bisa memberinya makan tiap pagi. Dulu, saat ayah masih ada, masih disampingku, masih diantara aku dan ibu. Ia seringkali melakukan hal yang serupa sepertiku. Iya, aku meniru perbuatan mulianya. Ia kerap memberikan makan kepada kucing-kucing di manapun yang ia temui, saat ia berangkat kerja, pulang kerja maupun saat pergi berlibur menghabiskan jatah weekend denganku.

Aku sempat bertanya kepada ayah, "Yah, kenapa sih kasih makan kucing terus, memangnya kucingnya gak bisa cari makan sendiri?"

"Bisa Naira. Tapi kadang banyak yang gak ngasih, karena dianggap pengganggu dan suka mencuri, padahal kalau kucingnya dikasih makan dia gak akan mencuri,"

Ayah lalu menggendong tubuh mungilku, tubuh anak perempuan berusia 8 tahun yang masih mendapatkan kehangatan dari dekapan seorang ayah.

"Naira, kalau kelak udah gede kayak ayah, jangan lupa kasih makan kucing juga ya. Karena Allah suka sama orang-orang yang menolong makhluk lainnya."

"Tapi, Yah. Naira gak mau kalo kucingnya jelek."

Ayah mencubit hidungku pelan dan tersenyum, "Sayang, kalo mau berbuat baik gak boleh pandang jelek atau bagus, buruk atau cantik. Kalo mau bantu itu harus ikhlas. Naira paham?"

Aku tersenyum dan mengangguk, "Paham, Yah!"

Miaw miaw

Suara kucing yang baru datang seketika menyadarkanku dari lamunan kenangan akan ayah. Segera aku berdiri dan menepis segala ingatan yang hampir membuat air mataku terbendung. Aku melanjutkan langkahku menuju kantor dengan memasang earpods dan mendengarkan instrumen lagu yang menenangkan.

Pagi ini aku tidak mau menangis, lagi.

***

"Ra, gak ada janji sama Bima pulang nanti?" Nayla bertanya diselah kami bekerja.

"Gak ada, kenapa?"

"Ya gak pa-pa sih. Eh Ra, kalo gw buat grup chat gitu, gimana?"

"Buat apa Naylaaa?"

"Ya biar makin akrab aja, boleh ya?"

"Kalau Bimanya terganggu, gimana?"

"Enggak, yakin gw,"

"Tanya dulu, Nay. Takutnya malah dia gak nyaman nanti,"

Nayla berdecak, "Iya, iya."

Tring. Gawaiku berdering. Aku membukanya. Ada pesan singkat dari Bima.

"Naira, aku boleh ya, untuk sayang sama kamu."

Isi pesannya membuat aku membelalak, aku tidak paham maksud pesannya. Otakku tidak bisa menjangkau arti dari pesan yang Bima kirim. Aku tidak tau harus membalas apa, aku juga tidak mengerti mengapa dengan tiba-tiba Bima mengirim pesan seperti ini.

BARA [END]Where stories live. Discover now