Jika Bahagia Itu Sederhana

116 8 1
                                    

POV Naira

Seperti biasa, aku pulang malam. Ibu sudah terlelap dikamarnya. Pekerjaanku saat ini bagai Dewa yang berhasil mengambil alih semua penat yang kumiliki, badanku terasa lemas sekali. Segera aku merebahkan punggung ke atas kasur, mencoba mencumbu malam tanpa rindu akan siang. Aku terlelap.

Suara gawaiku berisik sekali, aku baru ingat kalau aku lupa mematikan data seluler.

"Pagi-pagi gini siapa sih yang ngirim pesan banyak banget?" kesalku sembari meraih gawai dibawah bantal. Dengan mata yang masih mengantuk, aku membaca notification dari layar kunci gawaiku. Segera aku duduk begitu melihat Bima yang tertulis disitu. Aku baru ingat kalau kemarin lupa membalas pesannya.

"Nai,"
"Naira,"
"Belum bangun ya, Nai?"
"Naira ini weekend! Ayo berlibur,"
"Enaknya kemana ya, Nai? Ke taman? Atau mau main badminton lagi?"
"Kayaknya piknik bagus tuh, Nai,"
"Atau gak, aku ajak ke restoran jepang, mau, Nai?"
"Nairaaa, belum bangun juga?"

Aku membelalak. Bima sama sekali tidak menyinggung pesan yang ia kirim kemarin. Apakah dia tidak kesal? Kenapa malah mengajak aku berpiknik?

Pesan masuk darinya lagi. "Nai, aku ada di depan rumah kamu."

"Astaga!"

Lantas, aku tinggalkan gawaiku di kasur begitu saja dan membenahi diri seadanya. Aku merapikan rambut buru-buru dan langsung berlari menuju teras. Aku menghiraukan ibu yang sedang masak di dapur. Aku mengintip dari jendela, ternyata benar Bima ada didepan.

"Oh, astaga! Kenapa pagi banget."

Aku gelagapan sendiri, sejenak aku mengatur nafasku yang tersengal akibat berlari tadi. Aku tau ibu terheran melihatku, tapi aku tak mengacuhkannya. Saat ini pikiranku cuma satu, bagaimana menjawab pesannya Bima jika nanti ia tanyakan lagi. Aku membuka pintu.

"Naira!" Bima tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku balas senyumnya kikuk dan mendekatinya.

"Naira baru bangun? Boro-boro mau piknik, belek aja masih nempel." Bima menertawaiku.

"Masa sih?" Aku dengan sigap mengelap bagian mataku dengan membelakanginya. Jika itu benar, betapa sangat malunya aku.

"Bercanda, Nai." Ia masih saja tertawa.

"Gak lucu, tau gak!"

"Lucu tau, tuh mukanya panik. Kamu itu kalo lagi panik, mirip kucing yang ketauan nyolong ikan ya."

"Hah? Kucing? Memangnya aku ada kumis? Aku ini manusia, seorang perempuan cantik ciptaan Tuhan."

"Iya, aku percaya kalo kamu cantik,"

Bima tersenyum, "mirip bunga sakura di musim semi."

"Uhuk." Aku terbatuk, bukan beneran. Sengaja aku lakukan untuk merespon ujaran Bima yang sangat klise.

"Kamu itu belajar gombal darimana? Hah? Dari om-om? Dari bapak-bapak? Atau dari kakek-kakek? Klise banget sih. Oke, sekarang aku jadi tau kalo kamu itu raja gombal."

"Kata ibuku, aku bukan raja gombal. Tapi Dewa kejutan."

"Haaah?" Aku berpikir sejenak, "oh iya benar! Ini buktinya, tau tau ada di depan rumahku aja. Mau ngapain? Mau numpang sarapan? Atau mau numpang mandi karena dirumah gak ada air?"

"Bukan,"

"Terus karena apa kesini?"

"Karena kangen." Aku bergeming. Ibu Bima memang tidak salah menyebutnya Dewa kejutan, setiap yang keluar dari lisannya mampu membuat jantungku berhenti sebentar. Aku berdeham memecah kecanggungan, "mau masuk?" tawarku.

BARA [END]Where stories live. Discover now