Luka Yang Bermuara

119 9 2
                                    

POV Naira

Pagi ini aku terbangun dari mimpi yang telah lama tak singgah. Mimpi yang begitu indah sampai bulir bening menetes pada pipiku. Eksistensi ayah ada didalamnya, menyerbakkan harum bahagia untuk aku dan ibu. Dalam mimpi itu, aku berlari di bibir pantai ditemani halusnya pasir, desiran angin juga ombak yang bergulung-gulung. aku berlari disertai tawa bahagia yang begitu nyaring, tawa anak 10 tahun kala itu mampu membuat ibu ikut tertawa dan membuat ayah ikut berlari mengejarku, walau angin pantai begitu kencang menerpa, tetapi aku dapat merasakan kehangatan, dan kehangatan itu, sekarang tidak akan pernah bisa aku rasakan kembali. Hingga kemudian, ayah menangkapku, ia memeluk dan mengelitikiku, aku terus mencoba terlepas dari dekapannya dan ingin terus berlari, tetapi ayah mengangkat badanku yang kecil dan menyeburkan kakiku yang mungil ke air laut yang begitu dingin. Lalu ibu mendekat, mengajak berfoto bersama. Ibu mengangkat kameranya dan kami mengatakan 'ciiss' dengan begitu sumringah. Rasanya tidak mau menyelesaikan mimpi ini begitu cepat.

Aku terbangun, kenangan 15 tahun lalu hadir dalam mimpiku. Aku berlinang, menyadari bahwa hari itu tidak akan pernah ada lagi, aku sudah tidak lagi kecil, ibu sudah tidak lagi sering tertawa dan ayah sudah tidak lagi ada diantara kami. Oh Tuhan, bisakah mimpi itu selalu hadir di setiap malam panjangku? Setidaknya jika aku tidak bisa memilikinya di kehidupan nyata, aku masih bisa menggenggamnya di alam fana.

"Yah, Rara kangen," ujarku lirih dengan buliran air yang masih berlinang.

Rindu yang selama ini tidak pernah aku inginkan, pagi ini datang dengan begitu menyesakkan. Bayangan wajah ayah sangat begitu nyata, senyata kepergiannya. Dadaku begitu penuh, aku menghirup udara sebanyak yang aku bisa dan menghapus bulir kesedihan yang kian membuncah. Aku tidak boleh kelihatan seperti habis nangis didepan ibu, aku tidak mau membuat ibu bertanya-tanya dan membuatnya bersedih ketika mengetahui bahwa aku sedang merindukan ayah. Aku keluar dari kamar, meninggalkan rasi kerinduan yang tak akan pernah bisa terwujud, aku mendapati ibu dikamarnya sedang mengemasi barang-barangnya untuk bersiap berangkat bekerja. Aku kontan menorehkan senyum.

"Bu, udah mau berangkat?" tanyaku di ambang pintu.

Ibu keluar dari kamar dengan menenteng tas yang tadi ia kemas, "Iya, Ra. Ibu berangkat ya, kamu jangan lupa sarapan."

"Iya, ga usah khawatirin Rara kalau soal makan, Bu. Ibu tau sendiri kalo Rara kan doyan makan."

"Yaudah itu ojek ibu udah nunggu. Assalamu'alaikum."

Aku menyalami tangan ibu, "Wa'alaikumussalam."

Ibu, aku mencintainya, lebih dari rinduku kepada ayah.

***

Mimpi itu membuatku terlambat bangun, sehingga pagi ini aku harus berangkat bekerja memakai taksi, jika berjalan kaki seperti biasa, kemungkinan bisa telat. Sesampainya, baru saja aku turun dari taksi, Nayla sudah mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang Bima. Berpolah seperti wartawan yang tidak akan berhenti bertanya sebelum yang diwawancarainya menjawab.

"Gimana, Ra? Gimana, Bima? Seru mainnya? Lo ngapain aja? Kemana aja? Dijemput pake apa? Pas keringetan dia ganteng kek kevin gak? Ra, si Bima itu yang mana? Gw belum tau, Ra. Lo gak mau ngenalin gw sama Bima? Ra, Bima itu orangnya-"

"Nay!" Aku sedikit menggertak dan Nayla bergeming, aku mengelus pangkal hidungku sebentar, "udah nanyanya?" Nayla mengeratkan bibirnya dan mengangguk cepat,

"Nanti aku kenalin, tapi janji dulu kamu gak kepo-kepoin dia."

"Kenapa, Ra?" Tuh kan, Nayla ini memang perempuan dengan sejuta pertanyaan.

Aku menghela nafas singkat, "Ya gak sopan, masa baru kenal kamu mau kepoin dia kayak kamu kepoin aku, sih!" Nayla menggelayuti tanganku laiknya anak kecil yang merayu minta dibelikan jajan.

BARA [END]Where stories live. Discover now