Cinta dan Benci

81 6 1
                                    

POV Naira

Cinta yang dibaluti dengan benci, akankah masih menjadi cinta yang suci?
Jika cinta dan benci berada pada kotak yang sama, akankah suatu saat terdapat utusan yang dapat memisahkan?
Tentang cinta dan benci, mungkinkah keduanya adalah takdir yang harus dimiliki?
Mengapa harus ada cinta, jika berujung berdusta?
Mengapa harus ada benci, jika ujungnya ingin saling memiliki?
Bisakah cinta dan benci berada pada kotaknya masing-masing?
Biarkanlah mereka menjadi asing.

Perkataan Nayla kemarin sangatlah benar, lantas bagaimanakah caranya mengikhlaskan? Semakin ku merenung, semakin tak mendapat jalan keluar. Mengapa hanya memikirkan bagaimana caranya mengikhlaskan, aku bisa sefrustasi ini? Apakah mungkin hatiku sudah terlanjur buta?

"Ah!" aku meringis di meja kantin Si Mbok seraya memegang kepalaku yang terasa pusing sebab terlalu banyak berfikir.

"Pagi-pagi kok udah frustasi, Ndok," ujar Si Mbok yang membawakan pesananku.

Tak ada senyum yang kusunggingkan pada Si Mbok, melainkan desahan berat yang kukeluarkan. Aku melahap sarapan tak bergairah, pagi ini rasanya tak ada hasrat untuk bekerja.

"Hei, Nona!"

Seseorang berujar kencang, mengagetkanku. Aku terkejut setengah mati, untung saja nasi yang sedang kulahap tidak keluar lagi. Aku sangat kesal dan memelototinya.

"Apa-apaan sih, Bim!" ujarku sangat kesal dan berujung memukul lengannya keras. Bima tak menunjukkan air muka bersalah, ia malah tertawa.

"Aaahahha sorry, lagian makan kok lemes banget, kasian itu nasinya nanti ngambek,"

"Apaan sih!"

"Jangan manyun-manyun gitu dong, itu nanti tehnya dingin loh, kalo gak mau diminum, mending buat-"

Gleek, glek.. aku meminumnya sampai habis seraya memandanginya.

"Dasar pelit," ujarnya.

"Bodo! Kalo mau mah beli,"

Aku kembali melahap sarapanku, masih dengan tempo lambat. Kemudian Bima meraih sendok dan piringku.

"Beli Bim, jangan ngambil puny-" Bima menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.

"Kunyah," ujarnya.

Aku menurutinya, mengunyah nasi hingga halus dan menelannya. Kemudian Bima kembali menyodorkan sesendok nasi ke mulutku, namun aku tak membukanya.

"Makan, Naira. Nanti sakit lagi,"

"Kamu kok ada di sini sih? Gak kerja? Ooh iya, pengangguran! Ya 'kan?" kataku sedikit kesal.

"Ayo, Naira makan," ujarnya yang tak memedulikan pertanyaanku. Aku menggeleng.

"Kalo nasi ini habis, aku akan kasih tau kamu tentang pekerjaan aku,"

"Kita ini teman bukan, sih Bim! Masa aku belum tau apa-apa tentang kamu,"

"Iya makan dulu, nanti aku kasih tau,"

"Tell me more about yourself,"

"Iya, Naira. Makan dulu ya."

Aku mengangguk dan menerima suapan darinya.

"Ajak aku main kerumah kamu juga ya," ujarku seraya mengunyah.

"Kunyah dulu baru ngomong, nanti kesedak,"

"Janji dulu," ujarku masih dengan mulut yang penuh.

"Iya, sayang." responnya diikuti dengan senyum yang ia kembangkan.

"Khuk," Aku tersedak sebab responnya yang sedikit mengagetkanku.

"Bandel, sih. Kataku juga kunyah dulu baru ngomong, kesedak 'kan."

BARA [END]Where stories live. Discover now