Kegagalan

64 5 1
                                    

POV Naira

Mentari menyapa malu-malu pagi ini. Di hari libur dengan cuaca dingin, aku yakin pasti bukan hanya aku saja yang setuju jika dicuaca seperti ini paling enak tidur dibawah selimut tebal dan bangun disaat matahari telah tinggi. Namun, rencanaku itu harus gagal. Sebab, ibu membangunkanku untuk sarapan pagi. Aku kesal sebenarnya, tapi aku tidak bisa membantah ibu. Jika aku tidak menurut, ibu pasti mengomeliku. Akhirnya aku turun dari ranjang dengan langkah malas dan mata yang setengah terbuka menuju ruang makan. Disana sudah ada ibu yang sedang merapikan meja makan.

"Naira, cuci muka dulu."

"Hm." jawabku sekenanya masih dengan mata yang merem-melek.

"Naira!" ibuku sedikit menegaskan suaranya.

Aku terkejut. Lantas, segera aku berlari menuju keran wastafel cuci piring. Kemudian aku duduk kembali sembari mengelap wajahku yang masih basah.

"Bu, Naira belum laper." eluhku.

"Makan, nanti sakit lagi. Kalau kamu kayak gini terus, gimana ibu gak khawatirin kamu, Ra?

"Naira gak minta dikhawatirin kok, Bu. Ibu jangan khawatir lagi sama Naira, ya?" ujarku sembari tersenyum.

"Gak ada ibu yang gak khawatirin anaknya, Ra. Ibu cuma gak mau kamu sakit lagi,"

"Naira janji gak akan sakit lagi kok, Bu. Nih janji." ujarku memberi jari kelingking kepada Ibu.

"Yaudah dimakan dulu itu,"

"Ih ibu, jarinya mana? Terima janji Naira dulu."

Ibu tersenyum dan menerima janji kelingkingku.

Kalau difikir-fikir, lucu ya? Dulu, aku tidak pernah percaya dengan segala janji. Tapi sekarang malah aku yang berjanji. Hidup itu memang seperti itu ya? Dulu membenci, sekarang melakui. Aku memang sudah tidak heran lagi, sebab aku sudah sering merasakan hal yang selalu saja berkebalikan seperti ini. Hal ini persis seperti kepergian ayah. Dulu, ayah ada untuk mencintai tapi kini ayah telah pergi dan melukai. Sudahlah, aku sudah tidak mau mengungkit tentang kepergian ayah lagi sebenarnya. Tapi, bagaimana ya? Untuk menghilangkan fikiranku tentang ayah barang sehari saja itu tidak bisa. Aku tidak tahu bagaimana caranya melupakan dan mengikhlaskan. Semakin aku berusaha melupa, semakin jelas langkah kepergian ayah dulu. Aku tidak tahu kapan rasa abu ini berkesudahan.

***

Akhir pekan ini aku tidak kemana-mana. Aku memilih untuk dirumah saja bersama ibu. Aku menyiram bunga-bunga, membersihkan kaca dan jendela, menyapu dan mengepel lantai, melipat baju dan menyetrikanya hingga memasak untuk makan sore. Hari yang sengaja ingin kuhabiskan dengan bermalas-malasan gagal begitu saja. Kata ibu, aku selain harus rutin makan, aku juga harus sering-sering berolahraga. Dan inilah olahraga yang ibu maksud itu. Aku harus membantunya membersihkan rumah. Kenapa ya, definisi olahraga anak dan ibu itu bisa berbeda? Mungkin saja ibuku dulu sewaktu sekolah, materi pelajaran olahraganya bukan senam, lari maraton, renang, atau bahkan atletik. Sepertinya di zaman ibu dulu, materi olahraganya adalah menyapu, mengepel, mengelap kaca, mencuci baju, melipat baju, menggosok baju dan pekerjaan rumah lainnya. Aku lelah, tetapi selelah apapun itu jika bersama ibu terasa menyenangkan.

"Naira, nanti sore kamu antar makanan ke rumah Bima, ya." ujar Ibu yang sedang memotong-motong tempe.

"Ke rumah Bima, bu?" ujarku sedikit tak percaya sembari mengusap-usap mataku yang perih karena bawang merah yang sedang ku kupas.

Ibu menoleh, "Ya ampun, Naira. Jangan diusap-usap kayak gitu, ya jelas perih. 'Kan tangan kamu lagi megang bawang."

"Aku gak tau, Bu."

BARA [END]Where stories live. Discover now