Bahagia?

62 6 1
                                    

POV Naira

Kata ibu, bahagia itu mudah tercipta hanya dengan tindakan sederhana. Seperti yang sedang aku lakukan sore ini, aku sedang berjalan kaki menuju rumah Bima dengan menenteng rantang berisi makanan yang tadi aku dan ibu masak. Tindakannya sederhana, namun bahagianya sampai ke ubun-ubun. Aku bersemu disepanjang jalan, rasanya sudah tak sabar ingin bertemu dengan laki-laki yang selalu mampu membuatku merasakan bahagia sejauh ini. Oh, ya Tuhan, aku bersaksi hamba ciptaan-Mu itu sungguh mampu membuatku lebih mensyukuri hidup.

Langit sore ini cerah namun tak panas, suasananya sama seperti hatiku, sejuk nan asri, hingga kupu-kupu betah hinggap di dadaku. Hahaha aku benar-benar geli dengan kalimatku itu, tapi ya maklum saja. Seperti inilah keadaan hati yang sedang dilanda asmara. Sangking bahagianya, aku tak sadar kalau ada genangan air di jalan yang berlubang tepat disampingku.

Byur... air genangan itu menyiprat ke seluruh pakaianku diiringi dengan sepeda motor yang melaluiku. Kurang ajar! Woi! Pekikku. Namun, pengendara itu tak sama sekali mempunyai etikat untuk meminta maaf. Uh, sebel!

Tapi tak apa, setiap kemalangan pasti ada kebahagiaan dan tentunya berlaku untuk sebaliknya. Aku berfikir, karena hari ini aku sedang bahagia—wajar saja jika kemalangan pun ikut hadir setelahnya. It's ok! Aku sudah terbiasa akan dua kata itu—kata yang kerap membercandai hidupku selama ini. Kemalangan dan kebahagiaan, tak mungkin pernah bercerai-berai. Karena hakikatnya, hidup memang tak hanya berisi putih dan manis, namun hidup juga berisi hitam dan pahit. Itulah mengapa, kopi bisa terasa nikmat, manis dan pahit terlebur menjadi satu kesatuan di dalam cangkir yang diseduh dengan air mendidih. Itulah hidup dengan kombinasi yang adil.

Aku sampai di rumah Bima. Tadi saat aku telfon, Bima bilang kalau aku lewat pintu samping saja soalnya tidak dikunci, yasudah aku memasuki rumah Bima melalui pintu samping yang ia maksud. Entahlah ada urusan apa Bima diluar sana, tapi sepertinya urusan yang sangat penting. Pasalnya, disetiap hari libur setahuku Bima jarang keluar rumah, ataupun biasanya ia suka mengajak aku untuk menghabisi jatah weekend bersama, tetapi hari ini ia tidak mengajak aku kemana-mana dan malah sedang ada urusan diluar sana, artinya urusannya penting.

Aku menunggu Bima diruang tamunya setelah menaruh rantang bawaanku di meja makannya. Ada sketsa yang sangat familiar di dinding ruang tamunya, aku sering sekali melihat sketsa itu. Dan ternyata benar, itu adalah sketsa yang sama seperti di wallpaper gawaiku saat ini. Aku tidak tahu kalau sketsa yang sudah lama aku pajang sebagai wallpaper gawaiku ini adalah karya Bima. Aku tersipu malu melihat sketsa bangunan hitam putih itu. Sebenarnya sudah berapa lama aku dan Bima terikat sebelum kami saling mengenal? Lucu sekali. Tak lama, Bima datang.

"Maaf lama." ujarnya.

"Enggak kok, aku baru dateng juga. Itu aku bawain makanan, ibu yang nyuruh. Aku yang masak lho!"

"Oh ya?" tanyanya diiringi dengan tangkupan tangannya di kedua pipiku.

Sebenarnya Bima sering sekali menempatkan telapak tangannya di kedua pipiku seperti ini, namun aku masih saja sering tersipu dan malu.

Aku mengangguk, "Iya, tanya aja sama ibu kalau enggak percaya." kataku sambil memanyunkan bibir.

"Iya, aku percaya kok. Makasih ya sayang,"

Aku tersenyum, Ah! Rasanya pipiku sedang bersemu.

Bima melepaskan tangannya dari pipiku. Ia memandangi sketsanya.

"Kenapa tadi senyum-senyum liat ini?" tanyanya.

"Karena bagus."

"Bagus aja? Gak ada yang lain? Masa si? Udah jujur aja, kamu pasti sambil bayangin aku pas lagi gambar sketsa ini 'kan? Iya aku tahu kalau aku memang keren banget."

BARA [END]Where stories live. Discover now