Rasi

128 8 1
                                    

POV NAIRA

Aku terbangun karena riuhnya suara yang masuk ketelingaku. Ya Tuhan, pagi ini terasa kejam sekali. Aku baru saja terlelap sekitar satu jam pada syahdunya kantuk yang kutunaikan, tetapi noise yang kujumpai. Lantas, aku mencari sumber keributan itu. Diruang tamu, ibu bersama dengan wanita yang tidak aku kenal, ibu bercerita dengan baluran emosinya, aku menguping.

"Kalo bukan karena sayang sama Naira, gak mungkin aku cerai. Aku gak mau kalo Naira sampai tumbuh dengan ayahnya yang gak punya cinta lagi untuk dia. Aku gak mau dia tumbuh di rumah yang isinya cuma tengkar, tengkar dan tengkar. Aku masih ingat, Del, waktu itu Naira takut sampai gemeteran waktu melihat si laki-laki brengsek itu melempar vas bunga ke dinding. Kalo dia sayang sama Naira, dia gak mungkin selingkuhin aku,"

Begitulah aku menguping pembicaraan ibu dengan temannya. Sejujurnya aku tidak kenal dengan temannya ibu itu, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tetapi, aku yakin kalau ia teman dekat ibu, sebab ibu tidak mungkin menceritakan permasalahan keluarga kami pada sembarang orang. Namun, aku ingin marah rasanya kepada Ibu. Aku tidak setuju jika orang lain harus mengetahui hal yang tidak sempurna pada keluarga kami.

"Lis, aku turut berduka atas apa yang terjadi pada keluarga kamu. Tapi kalau boleh aku saran, jangan membenci terlalu banyak, bilang juga sama anakmu. Karena lis," aku melihat raut wajah ibu, terlihat seperti rumah dilalap si jago merah. Namun, tante itu memegang tangan ibu untuk menenangkannya. Lalu ia melanjutkannya.

"Naira masih butuh bapak. Dia akan menikah suatu saat nanti. Anakmu akan kesulitan sendiri jika terlalu jauh dengan Andra." aku mengintip untuk mengamati wajah ibu, aku penasaran dengan responnya.

"Manipulasi 'kan bisa. Bilang aja ayahnya Naira udah gak ada, jadi bisa pake wali." begitu entengnya ibu berucap, aku sama kagetnya dengan tante itu. Tapi aku tak kunjung melangkahkan kaki mendekati mereka berdua.

"Astaghfirullah Lis, jangan gitu."

"Kamu gak akan ngerti dengan apa yang aku rasain Del. Seandainya kamu bisa ngerasain apa yang aku rasain, kamu akan berbuat hal yang sama kayak aku."

"Lis, coba kamu berfikir dengan otak yang dingin."

"Udahlah, Del. Tuhan maha Pemaaf kok. Nanti setelah aku berbohong sama keluarga calon menantuku bahwa ayahnya Naira sudah mati, aku akan berdoa meminta maaf sama Tuhan. Aku janji."

Aku paham betul apa yang ibu rasa, aku juga bisa merasakan kalau seluruh tubuh ibu sudah panas karena bara emosi. Ibu menangis dipelukan tante itu, aku kembali ke kamarku dengan langkah yang sangat lemas. Disatu sisi aku tidak percaya dengan ibu yang begitu entengnya berucap akan memanipulasi keberadaan ayah. Namun di sisi lain, aku begitu paham dengan apa yang Ibu rasakan. Ibu memiliki hati yang begitu lembut laiknya salju. Namun saljupun tidak bisa mempertahankan wujudnya jika terkena api, laiknya Ibu yang kulihat pagi ini.

Saat lampion telah kehilangan cahayanya, sangat mudah baginya untuk bersembunyi pada gelapnya malam.

Ibu memanggil aku untuk bangun dan sarapan. Temannya ibu sudah pulang. Aku mengambil duduk di meja makan dan menuangkan segelas air putih, bagiku air putih sangat berguna untuk menetralisir kemungkinan emosi yang akan meluap. Aku memberanikan diri untuk bicara.

"Bu, alangkah lebih baiknya, kecacatan di dalam rumah hanya kita aja yang tau?" kataku dengan nada selembut mungkin.

"Kamu dengar?" aku mengangguk,

"Bu, walau ayah telah banyak menyakiti. Tapi ayah pernah menyematkan bahagia untuk kita, walau sebentar. Dan orang lain gak perlu tau tentang kecacatan ini, bukankah lebih baik jika rumput kita tetap terlihat hijau bagi orang lain?"

BARA [END]Where stories live. Discover now