Rahasia (?)

57 5 1
                                    

POV Naira

Tok tok tok...

Aku mengetuk pintu rumah Jordan. Semenjak menikah, Nayla tinggal dirumah kontrakan Jordan, namun tak lama lagi—dalam waktu dekat ini Nayla dan Jordan akan tinggal di Malaysia, seperti yang dulu pernah Nayla bilang padaku.

Seseorang membuka pintu, "Oh, Rara!" Nayla menghambur ke pelukanku.

"Aaaa kangen." ujarnya.

"Apaan sih, Nay. Baru aja seminggu gak ketemu,"

"Seminggu itu lama, Ra. Dulu kita setiap hari ketemu di kantor, tapi sekarang.." air muka Nayla berubah sedih dan ia tertunduk.

"Aku gak dibolehin masuk, nih?" kataku memotong bicaranya.

"Oh iya, ayo masuk!" ujarnya semringah.

Aku memasuki rumah minimalisnya, tidak banyak perabotan disana, yang kulihat hanya ada sofa ruang tamu, televisi, meja makan, kompor, dan kulkas.

"Kemana suamimu?" tanyaku setelah duduk di sofa ruang tamunya.

"Em, si mas lagi ketemu sama yang punya kafe. Katanya sih, mau pamitan."

"Nay, kamu enggak selamanya di sana, kan?"

"Gua buatin lo minum dulu, ya."

Aku mengangguk dan Nayla beranjak ke dapurnya. Aku bisa melihat dari manik mata Nayla kalau ia sedang bersedih, aku tahu rasanya pasti berat meninggalkan tanah air. Tetapi mau tidak mau ia harus melakukan ini untuk kehidupan yang lebih layak. Jordan harus menerima pekerjaan yang lebih menjanjikan sedangkan Nayla harus terlepas dari ayahnya agar ia bisa belajar cara memaafkan. Ternyata benar ya, Tuhan memberikan jodoh sesuai porsi. Nayla membutuhkan Jordan, pun sebaliknya. Jordan adalah laki-laki yang dikirim Tuhan untuk Nayla sebagai obat untuk luka masa lalunya, sedangnya Nayla adalah perempuan yang dikirim Tuhan untuk Jordan sebagai dorongan untuknya lebih berani melangkah.

Mereka ditakdirkan untuk bergandengan dan melalui trotoar yang sama dan pergi menaiki bus untuk menempuh jalan kebahagiaan. Jalan yang mungkin tidak mudah, bahtera rumah tangga tak mungkin hanya berisi hal-hal yang baik-baik saja. Tetapi aku yakin, apapun yang akan terjadi, mereka akan baik-baik saja. Aku ikhlas melepas Nayla pergi, karena kali ini bukanlah kepergian yang berujung pada kehilangan, namun adalah kepergian yang hanya berujung pada kerinduan tanpa adanya kehilangan.

"Maaf ya, Ra. Gw cuma ada teh biasa, enggak ada teh jeruk purut kesukaan lo itu. Coba aja tadi lo bilang kalau mau kesini, 'kan gw bisa beli dulu di minimarket." ujarnya setelah menaruh nampan berisi teh hangat dan sepiring camilan.

"Gpp Nayla. Gw gak akan mati kok kalau minum teh biasa, ngapain pake minta maaf segala."

Nayla tersenyum. "Syukur, deh."

"Nay, gw agak lamaan disini gpp? Soalnya lagi males dirumah aja, ibu belum pulang kerja, dan gw juga lagi sedikit kesal sama Bima, jadi lagi gak mood gitu ketemu dia." ujarku seraya mengunyah camilan yang baru saja ia suguhkan.

"Gpp kok, Jordan juga kayaknya pulangnya sore."

"Bagus, deh." aku menyeringai dan melanjutkan mengunyah cemilan.

"Ra." panggilnya.

"Iya?"

"Lo sama Bima, gimana?"

"Emm, gak gimana-gimana kok. Cuma ya belum bisa sampe ke tahap kayak lo aja." jawabku sedikit bergurau.

"Kalau suatu saat nanti, hubungan lo dengan Bima terasa berat. Lo harus janji akan nelfon gw, dan nanti gw juga akan janji, kalau gw pasti pulang untuk meluk lo." Nayla mengatakannya dengan air muka yang sangat serius dan manik mata yang terlihat aneh. Nayla menahan air mata(?).

BARA [END]Where stories live. Discover now