Pelampiasan

94 6 1
                                    

POV Naira

Pagi ini aku kembali bekerja, sebenarnya belum pulih benar, namun aku bukanlah Naira jika tidak membandel. Ibu sudah memaksaku untuk tidak bekerja dahulu namun aku lebih keras kepala untuk berangkat bekerja. Jika aku tidak berangkat bekerja pagi ini, lebih tepatnya jika aku tidak keluar rumah hari ini, nanti siapa yang akan memberi kucing-kucing jalanan itu makan? Lalu dikantor nanti jika Nayla disuruh-suruh lagi dengan senior tak beradap itu, siapa yang akan menghadapinya? Dan jika aku tidak berangkat bekerja, siapa yang akan memesan nasi goreng dan teh hangat jeruk purutnya Si Mbok? Aku tau, ini seperti dalihan, namun itu benar. Ya, benar-ini adalah alasan yang kupakai untuk meluluhkan hati Ibu supaya ia memberikanku izin untuk berangkat bekerja. Alasan yang sebenarnya, aku hanya tak ingin merepotkan ibu, saat aku sakit-ibu jarang tidur cepat, ia selalu menungguku terlelap duluan, baru kemudian ia memasuki kamarnya. Sebenarnya ada baiknya juga, karena saat aku sakit, ibu tidak berangkat bekerja, sehingga aku bisa lebih mempunyai waktu bersama ibu. Namun, disisi lain-aku tak suka melihat ibu yang selalu mengkhawatirkan kondisiku, ia bukan tipikal ibu yang suka mengomel, tapi khawatirnya ibu terlihat jelas saat ia seringkali mengusap kepalaku, mencium keningku, juga memelukku dari belakang ketika aku sedang tidur dan memandangiku lama dengan air muka yang sangat mudah aku tebak. Ia sangat khawatir.

Saat aku sakit, ada banyak kata maaf yang terlontar dari lisannya. Ia selalu merasa kalau ia tak pandai menjadi seorang ibu, tak bisa memberikan kehidupan yang layak, tak bisa memberikan kehangatan selayaknya dekapan seorang ayah dan juga tak bisa memberikan kebahagian yang sama seperti dua belas tahun yang lalu. Tetapi aku selalu menyanggahnya, jika bukan karena ibu, aku tidak akan bisa bertahan sejauh ini, dan aku bilang kepada Ibu bahwa aku sudah tak mengharapkan apapun dari seorang ayah, mau itu keberadaannya ataupun dekapannya, bagiku memiliki ibu sudah lebih daripada cukup. Aku sudah tidak mengharapkan lagi adanya keutuhan di dalam rumah, karena percuma saja berharap, jika akhirnya sama saja, sia-sia. Luka yang sudah bertahun-tahun terpatri, akhirnya kering juga, namun sayangnya-masih meninggalkan bekas.

Aku sampai di kantor, seperti biasa Nayla yang banyak tanya kembali mencecarku, ia sudah menungguku di pintu masuk dan mudah saja baginya untuk merangkul tanganku dan melayangkan ribuan pertanyaan yang dari kemarin tak sempat ia lontarkan, aku harus siap mendengar banyak pertanyaan yang sudah ia tabung selama tiga hari aku tak berangkat bekerja.

"Raraaaa, Lo udah sehat?" katanya seraya memegang-megang dahiku.

"Udah. Jangan lebay deh," kataku seraya menepis tangannya.

"Tapi lo masih pucet, Ra, masih lemes juga keliatannya."

"Aku gak kenapa-kenapa kok, Nay."

"Cih," ia berdecih, "Kapan sih, kebiasaan lo yang pura-pura kuat itu hilang? Lo kira keren gitu, bilang gak kenapa-kenapa padahal lagi kenapa-kenapa? Lo, kira gw bakalan terharu terus kayang gitu, denger lo yang sok jagoan?" Nayla mulai melantur, aku hanya terus berjalan dan mendengarnya saja tanpa berkeinginan merespon.

"Lo kira, dengan lo sok kuat gini, lo bisa gantiin spiderman gitu? Terus bisa lebih keren dari boboiboy yang punya kekuatan api, angin, air, gitu? Terus bisa nandingin shiva dan bilang 'aku bukan anak kecil, paman' gitu? Ra! Kalo sakit itu bilang sakit, kalo capek itu bilang capek, jangan terus pura-pura, lama-lama lo bisa jadi pejabat tau gak, kalo gini terus."

"Ha, pejabat?"

"Iya, yang suka pura-pura gak denger suara rakyat."

"Nay!" kataku yang sedikit membentaknya, Nayla memang suka ngawur kalo mulutnya sudah nyerocos.

"Ra! Pokoknya, kalo nanti lo tiba-tiba pusing, lo bilang sama gua, jangan pura-pura kuat, inget! Dan hari ini gw bawain lo bekal makan siang, lo harus makan, dan jangan coba-coba untuk melembur lagi, gw akan terus pantau lo sampai jam pulang kerja yang semestinya. Lama-lama lo itu hidup gak sesuai aturan, kalo gini terus, ibu lo gak akan tenang karena mikirin lo terus."

BARA [END]Where stories live. Discover now