Sebuah Seni

79 6 1
                                    

POV Naira

Hari ini akhir pekan lagi. Dan hari ini, aku akan diajak Bima pergi kerumahnya. Waktu itu dia sudah berjanji kepadaku, kalau ia akan bercerita banyak hal tentangnya. Ia akan berjanji untuk memberitahu apa yang belum aku ketahui tentang dirinya. Katanya, hari ini Bima mau memberitahuku tentang pekerjaannya, tentang aktivitasnya sehari-hari dan juga tentang kegemarannya, selain bermain bulu tangkis yang sudah aku ketahui waktu itu.

Saat ini jam delapan pagi, aku menunggunya didepan gerbang rumahku. Dengan memakai baju kaus putih polos yang kubaluti dengan kemeja kotak-kotak merah hitam dan celana jeans yang menjadi setelan ku sehari-hari, lengkap dengan sepatu convers yang sering kurawat, aku berdiri disini menunggu motor atau mobil lawasnya terparkir. Tak lama aku menangkap keberadaaanya, Ia menjemputku bukan memakai motor vespa birunya ataupun mobil lawasnya, melainkan ia menjemputku memakai sepeda. Ia memarkirkan sepedanya tepat didepanku dan tersenyum kepadaku.

"Udah siap?" katanya.

"Udah lah, ini buktinya udah nungguin kamu disini, gimana si,"

"Hehe, iya, iya. Yaudah yuk naik,"

"Hah, pake sepeda?"

Ia mengangguk, "Iya, kan aku bawanya sepeda bukan helikopter,"

"Memangnya rumahmu gak jauh dari sini? Kok aku gak tau, sih. Kita tetanggaan?"

"Yaaa gimana mau tau, kamu aja sibuk kerja. Terus jarang bersosialisasi,"

"Yaah, kena deh,"

"Yaudah, ayo naik. Rumahku gak deket-deket banget dan gak jauh-jauh banget kok,"

"Kamu gak capek goes sepeda?"

"Udah ayo naik, kamu banyak tanya deh. Nanti kalo aku capek, kamu yang gantian goes,"

"Ihhh, gak mau ah. Mendingan aku jalan deh,"

"Ooo kamu gak bisa bawa sepeda ya?"

Aku tersenyum malu dan menggangguk.

"Udah ayo." katanya seraya menarik tanganku.

"Ini aku berdiri nih?" tanyaku karena aku bingung bagaimana caranya ia memboncengiku sedangkan joknya cuma ada satu.

"Iya, Naira. Kamu gak pernah naik sepeda?"

"Pernah dulu dibonceng ayah, tapi joknya ada dua."

Bima terdiam, ia bergeming seperkian detik hingga kemudian ia menyunggingkan senyum kepadaku.

"Yaudah nanti aku beli sepeda yang ada dua joknya ya, buat gonceng Naira,"

"Apaan sih, Bim. Memangnya aku anak kecil." kataku yang kemudian menaiki sepedanya.

Bima terlihat sangat mahir menggoes sepedanya, aku sama sekali tidak merasa takut dibonceng dengannya. Sambil menikmati udara pagi, Bima dan aku bersepeda sambil bernyanyi lagu-lagu ceria seperti lagunya Budi Doremi yang berjudul Tolong.

Bima mulai berdendang,

"Kurasaku sedang jatuh cinta
Karena rasanya ini berbeda
Oh apakah ini memang cinta?
S'lalu berbeda saat menatapnya
Huuuhu mengapa aku begini hilang berani dekat denganmu
Ingin ku memilikimu tapi aku tak tau
Bagaimana caranya."


Aku melanjutkannya,

"Tolong katakan pada dirinya
Lagu ini kutuliskan untuknya
Namanya selalu kusebut dalam do'a
Sampai aku mampu, ucap maukah denganku."

"Mau, Naira. Aku mau." kata Bima meledekku.

"Bimaaa! Apaan sih, kan aku cuma nyanyi," kataku yang kemudian mencubit pinggangnya pelan.

BARA [END]Where stories live. Discover now