Cinta Pertama

119 7 1
                                    

Pov Naira

Hari sabtu, akhir pekan yang selalu ditunggu oleh para pekerja, kecuali aku. Sejak hari itu, tidak ada lagi istimewa yang tersisa dari sabtu dan minggu. Bagiku, sabtu ya sabtu, hanya hari yang tertulis pada kalender disetiap minggunya, tanpa ada momen spesial yang dapat tercipta. Aku beranjak dari kasur dan membuka gorden kamar kemudian turun kedapur, niatnya mau membantu Ibu memasak, tetapi ternyata ibu sudah selesai dengan meja makan yang sudah tersuguhkan nasi goreng lengkap dengan lauk telur dadar dan juga tahu tempenya.

"Sudah selesai, Bu masaknya? aku telat ya?" basa-basiku kepada ibu.

Ibu tersenyum, "Sudah, itu dimakan nasi gorengnya,"

Aku menyeringai, "terimakasih ibu Rara yang cantiiiik."

Ibu memicingkan matanya dan tersenyum. Kalau diluar aku tidak bisa mendapatkan keistimewaan dari sabtu dan minggu, tapi di dalam rumah, aku mendapatkannya. Inilah alasan aku lebih betah dirumah daripada keluar rumah, aku bisa menciptakan momen bahagia bersama ibu. Karena, selain sabtu dan minggu, aku jarang sekali bertemu Ibu. Ibu bekerja sampai sore dan aku keseringan pulang malam. Ibu begitu keras kepala saat aku memintanya untuk berhenti bekerja, sama denganku yang begitu keras kepala saat ibu memperingati supaya tidak begitu sering melembur. Setiap pulang, aku sering mendapati ibu yang sudah terlelap dikamarnya dan aku kerap menyematkan kecup disana. Aku dan Ibu banyak memiliki kesamaan dan kesamaan yang paling tidak kami inginkan adalah sama-sama tersakiti oleh ayah.

Aku baru ingat kalau weekend ini memiliki janji dengan Bima, lantas aku meminta izin kepada ibu.

"Bu, Rara nanti mau main sama temen Rara, boleh, bu?"

"Boleh dong, tapi mau main kemana sama Nayla? kata kamu Nayla kalo weekend selalu pacaran, tumben,"

"Bukan Nayla, bu,"

"Kamu punya temen selain Nayla? Ibu seneng dengernya. Siapa, Ra?"

"Bima, Bu,"

"Bima? cowo?" Aku mengangguk.

"Yaudah sana cepet mandi, dandan yang cantik,"

"Ihh kenapa jadi ibu yang seneng banget? Bu, aku mau main bulu tangkis bukan mau ke mall jadi ngapain dandan cantik-cantik, lagipula kata si Mbok aku udah cantik dari lahir kok,"

"Ya ibu senenglah anak ibu sekarang punya temen baru, cowo lagi,"

Aku berdecak, "Apaan sih, ibu,"Aku menuangkan segelas air, kerongkonganku terasa kering setelah melahap nasi goreng buatan ibu. Ibu memandangiku lekat dengan air muka yang mendiskriminasi dan melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak rasional.

"Apa mungkin dia suka sama kamu, Ra?" Aku tersedak, sebagian airnya menyembur tangan ibu.

"Ihh jorok kamu, Ra. Ya ampun, mangkanya minumnya pelan-pelan."

"Bukan salah aku bu, ibu yang salah kok."

"Loh, kenapa jadi ibu?"

"Pokoknya Ibu yang salah, udahlah Rara mau mandi."

Aku hentikan percakapan ini, kalau semakin diteruskan pasti ibu akan bahas yang aneh-aneh. Bima suka sama aku? Ibu sama Nayla sama saja, baru saja kenal sudah berpikir kejauhan. Dan aku tau alasan mengapa ibu sangat senang mendengar aku memiliki teman baru, sebab Ibu pernah bilang kalau aku tidak seharusnya menutup diri pada dunia, tetapi kataku, kata anak usia 14 tahun dulu, dunia telah begitu kejam karena memisahkan ayah dan ibu. Bagiku, duniaku sudah berubah dan tidak ada yang bisa mengembalikan dunia yang dulu ayah buat untukku. Sejak itu, aku tertekan dan sering menyendiri, karena untuk apa aku berada di antara banyak orang jika hati dan pikiranku tidak disana, aku memusuhi semua teman-temanku. Semakin sering aku sendiri, semakin terbiasa aku menutup diri dan dengan begitu, semakin lihai aku membuat diriku kesepian dan entah pada siapa aku akan bermain lagi. Tetapi sejak aku memutuskan untuk bekerja karena tidak tega melihat ibu banting tulang, kerja sana kerja sini tanpa sepersen pun nafkah dari ayah, disitulah aku menemukan Nayla. Sejak sekian lama, akhirnya aku memutuskan untuk berteman lagi.

BARA [END]Where stories live. Discover now