Rahasia yang mulai mencuat-II

107 8 1
                                    

POV Bima

Aku berdiri di seberang jalan gedung tempat Naira bekerja, menunggu kehadirannya di seberang sana, namun sepertinya Naira sedikit telat datang, sudah pukul tujuh tetapi Naira belum juga terlihat, karena aku tahu kebiasaannya yang tak pernah sarapan dirumah, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kantin Si Mbok langganan Naira dan memesankan makanannya duluan sebelum ia datang, agar saat ia sampai di kantin bisa langsung melahap sarapannya tanpa menunggu pesanannya dibuatkan dahulu. Aku yakin, Naira masih asyik berjalan dengan alunan musik ditelinganya atau karena ia sedikit menghabiskan waktu bersama kucing-kucing jalanan. Ya, aku tahu kebiasaannya tentang memberi makan kucing-kucing itu, bagaimana aku bisa tidak tahu? Sudah sepuluh tahun aku bersembunyi dibalik hidupnya, aku sudah fasih tentang kegiatannya diluar rumah, termasuk kekonsistensiannya saat memberi kucing-kucing itu makan dan juga kekonsistensiannya saat ia memesan sarapan dengan menu yang sama setiap hari, Naira adalah pribadi yang jauh dari kata bosan-menurut pengamatanku, termasuk ia tak pernah bosan membenci ayahnya yang pergi tanpa kejelasan.

Aku sangat hafal tentang kegiatannya diluar sana, namun ternyata aku belum sangat mengenal tentang kepribadiannya, ternyata belum lama mengenalnya aku sudah menyadari kalau Naira tidak begitu angkuh seperti yang terlihat dari jauh, nyatanya ia mempunyai sifat hangat juga, dan ternyata Naira mempunyai sisi yang menggemaskan-yang selama ini tak pernah aku bayangkan, pasalnya selama ini-dari pengamatanku, aku hanya mendapati Naira dengan senyumnya yang jarang ia kembangkan dan juga lisannya yang jarang ia gunakan untuk mengobrol dengan teman sebaya, terlebih lagi akupun menyadari kalau Naira ternyata sangat membenci ayahnya lebih dari yang apa yang kukira.

Tak lama, netraku menangkap sosok wanita cantik yang aku tunggu sedari tadi, ia berjalan dengan menenteng tas laptopnya, sedangkan aku masih betah mengamatinya dari sebrang gedung itu hingga ia hilang dari pandangan, dimakan dinding-dinding besar penopang gedung itu. Saat ia telah hilang dari pandangan, aku memutuskan untuk kembali kemobil dan berniat pulang, banyak gambar yang harus aku selesaikan hari ini. Sesaat aku telah sampai di kursi kemudi, gawaiku berdering, berisikan pesan dari Naira yang mengirimkan foto meja yang telah dihiasi oleh nasi goreng dan teh anget jeruk purut yang aku pesankan untuknya tadi, disertai dengan kalimat terimakasih yang berasa lebih seperti ledekan, ia menyebutku dewa kejutan, spontan senyumanku mengembang begitu saja saat membaca pesan darinya. Entahlah, sejak mengenal Naira seperti banyak senyum tanpa alasan yang sering tiba-tiba terlukiskan, apakah aku menemukan bahagia yang baru? Lantas, apakah Naira juga merasakan bahagia yang sama seperti yang tengah aku rasakan saat ini?

***

Saat telah sampai dirumah, aku mendapati ibu yang sudah berada diruang tamu rumahku ditemani dengan Toni. Ia tengah menungguku dan terlihat terdapat rantang makanan yang sudah bertengger di meja, lantas aku langsung memeluk ibu, aku tau ibu merindukanku karena aku sering tidak pulang kerumahnya belakangan ini.

"Ibu kangen sama kamu, nak,"

"Maafin Bima buk, banyak pekerjaan yang belum Bisa selesaian, Bima janji deh besok atau lusa pulang kerumah Ibu," kataku sembari melepaskan pelukan.

Ibu mengusap pipi dan kepalaku pelan, "Jangan terlalu diporsir tenaganya Bima, nanti kamu sakit,"

Aku tersenyum sembari mengambil duduk dan diikuti oleh ibu, "Iya ibuku sayang, tenang aja, Ibu 'kan tau kalo Bima jarang sakit,"

"Jarang sakit bukan berarti gak akan sakit, Bim,"

"Iya ibu, Bima janji akan jaga kesehatan. Oh ini ibu bawa apa? Kebetulan Bima belum sarapan," ujarku mengalihkan pembicaraan.

"Bawa sayur kesukaan kamu, pindang patin,"

"Waaah enak banget," kataku seraya menciumi rantang bawaan ibu, "Ibu sekalian makan disini ya," pintaku.

BARA [END]Where stories live. Discover now