Alam Liar

241 71 43
                                    

Ketika dunia tertidur di malam hari

Mari kita pergi hanya kau dan aku

Keluar dari pandangan dan bersembunyi

Seperti dua penjahat di malam gelap

Jadi biarkan aku mencium bibir beracun itu

Aku selamanya milikmu, kau selamanya milikku

Tapi sekarang saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal

>-------000-------<

Aroma Wolfsbane mengusik penciumanku. Suara lolongan yang ramai membuatku gelisah dan disusul seuara tembakan yang memecah malam. Aku berlarian tak tentu arah dalam dekapan rasa takut.

Ketika para manusia mengerahkan para pemburu secara masal, bagi kami itu adalah perang. Mereka terus berinovasi menciptakan senjata mutakhir untuk mengalahkan kekuatan kami dan keadaan diperparah ketika mereka mengetahui kelemahan kami yaitu...perak.

Aku meringkik ketakutan sambil berjalan mengendap-endap di bebatuan agar tak terlihat. Kepulan asap membumbung di udara, berbaur bersama kabut yang dingin. Jeritan kesakitan dan lolongan tangisan memenuhi pendengaranku.

"Cepat ikuti ayah!"

Aku berlari mengikuti Serigala besar yang sudah menjepit satu anak Serigala di celah taringnya. Ia berlari dengan sangat cepat dan itu membuatku kesal. Ayah lebih mementingkan anak tuannya dibanding membawaku dalam taringnya, tapi aku memilih untuk diam.

Entah sudah berapa jauh kami berlari hingga kakiku tak mampu bertahan. Aku tersungkur dan juga ketakutan.

"Irina. Kau masih bisa berlari, kan?"

"Kakiku sakit. Apa ayah bisa membawaku juga?"

Ayah tampak kebingungan seketika sambil mengawasi keadaan sekitar dengan waspada.

"Carilah tempat berlindung!"

"Ayah!"

Serigala besar itu pergi meninggalkanku untuk membawa pergi anak tuannya. Seketika aku menjadi sedih, bahkan menganggap ayah mungkin...tak menyayangiku.

Telingaku mendengar suara derap kaki yang berat dan begitu banyak. Mereka semakin mendekat dan aku menjadi kalang kabut. Dengan sekuat tenaga, aku berdiri dan berjalan cepat karena sudah tak sanggup berlari, berharap ada tempat persembunyian yang aman.

Aku tertatih, tak tentu arah hingga akhirnya aku terjebak di jalan buntu. Tebing yang sangat tinggi saat aku mendongak ke atas. Aku berusaha mencari jalan lain, tapi manusia itu ada di mana-mana.

Naluriku menolak untuk menyerah, itu membuatku terus berusaha memanjat sebelum salah satu dari mereka ada yang melihatku. Tapi terlambat, seseorang mendekatiku sambil menodongkan ujung senjatanya.

"Irina!"

Tubuhku tersentak saat Serigala besar melompat di hadapanku entah dari mana. Tubuhnya sudah dipenuhi luka seperti habis bertarung dengan banyak orang. Suara tembakan yang keras membuatku terkesiap, menatap nanar saat mataku melihat langsung bagaimana peluru perak itu menembus kepala ayahku.

"Ada celah batu di bawah perutku. Cepat masuk ke dalam dan jangan keluar sampai keadaan aman," bisiknya parau.

Aku segera masuk ke celah batu di bawah tubuh ayahku tanpa sepatah kata. Menangis dalam diam dengan tubuh membeku di sudut gelap yang sempit.

Dalam sekaratnya, ayah menggerakan ke empat kakinya agar celah batunya tertutup salju. Lalu tak lama, ia melolong untuk terakhir kalinya.

Keadaan masih ramai saat mereka tertawa dan bersorak setelah menembak mati ayahku. Aku masih bergeming, tak berani bergerak sedikitpun walau dada ini terasa sesak.

ScarletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang