Bertengkar

175 43 12
                                    

Daun pinus yang semerbak. Ranting pinus yang terbakar. Api yang hangat. Bebatuan yang lembab. Tanaman herbal yang manis. Semua aroma itu berbaur menjadi satu dalam penciumanku. Mataku terbuka perlahan. Cahaya oranye memenuhi dinding goa yang semula gelap.

Perapian menyala di tengah ruangan. Ada poci dan cawan yang tergeletak di atas meja kayu. Tunggu, meja kayu?

Aku mengedipkan mata berkali-kali saat pikiranku perlahan sadar. Kupandangi sekeliling goa yang kini terlihat seperti di dalam rumah rimba. Sebelumnya tak ada meja kecil atau poci dan...yang lainnnya.

Butuh waktu beberapa menit untuk menyadari bahwa tubuhku sudah berbalut selimut. Aku bukan lagi terbaring di tanah yang dingin, melainkan di atas tumpukan daun pinus yang ditata seperti kasur.

Aku memekik saat berusaha bangun dari pembaringanku. Tubuhku...terasa remuk. Ya, aku ingat kami bercinta dengan...cukup beringas. Tidak, lebih tepatnya dia yang beringas. Aku bahkan bisa melihat bahuku sedikit lebam yang membentuk jejak jemari tangannya.

Namun bukan itu saja yang kini ada di kepalaku. Salah satunya adalah tumpukan daun pinus yang jumlahnya cukup banyak. Entah berapa batang pohon pinus yang Alan tebang hanya untuk diambil daunnya agar bisa membuat kasur yang empuk.

"Setelah keluar dari sini, aku pasti akan melihat pemandangan hutan gundul di sekitar tempat ini," pikirku.

Aku memaksakan diri untuk duduk. Tulang panggulku masih terasa ngilu sampai aku harus memekik berkali-kali setiap bergerak. Berbanding terbalik dengan keadaanku, aku yakin saat ini Alan dalam kondisi segar bugar seperti remaja belasan tahun. Sungguh situasi yang sangat tidak adil.

Jika teringat penyatuan kami, aku jadi kesal. Rencanaku dalam mengatur masa depan anakku gagal total. Aku jadi berharap tidak cepat hamil, tapi...jika sudah melakukannya sekali Alan pasti akan meminta untuk melakukannya lagi, bahkan di saat aku tak menginginkannya sekali pun.

Aku memijat alis agar peningku berkurang. Jika Asosiasi pemburu bukanlah ancaman untuk saat ini, mungkin aku akan bernapas lega. Kali ini aku harus memikirkan cara lain, setidaknya memikirkan kemungkinan terburuknya.

Mata-mata itu memang berhasil kubereskan, tapi...kenapa rasanya tidak mungkin jika ia bergerak sendirian? Aku justru merasa bahwa masih ada mata-mata lain di pack.

"Ah bodohnya!" gerutuku sambil menepuk dahi.

Ya, seharusnya aku tak meminta Clay untuk membawa mayat itu ke pack, karena pasti akan menjadi sebuah peringatan bagi mata-mata yang lain bahwa mereka harus lebih berhati-hati. Jika sudah begitu maka aku akan semakin kesulitan untuk menemukan pengkhianat yang lain

Sial, saat itu pikiranku tak terlalu jernih. Aku terlalu dikuasai kecemburuanku yang pada akhirnya membuatku salah langkah.

"Scarlet, aku senang melihatmu bangun."

Nah, serigala besar itu akhirnya datang. Ia membawa seekor domba gemuk yang entah ia curi dari mana.

"Selimut dan semua peralatan ini..."

"Oh, aku membelinya di pasar wilayah timur laut. Jaraknya lumayan jauh tapi itu yang terdekat dari tempat ini." Alan meletakkan Dombanya di tanah.

"Lalu daun pinusnya?"

"Aku menebang tujuh puluh delapan pohon di bawah bukit."

Nah, sudah kuduga. Tujuh puluh delapan pohon, itu bukan jumlah yang sedikit! Dan dia menebangnya sendirian?

"Dapat dari mana Domba itu?" tanyaku beralih pada Domba yang terkapar tak bernyawa.

"Dari seorang gembala yang lalai pada salah satu Dombanya," jawabnya. Jika dalam wujud Manusia mungkin saat ini ia tersenyum meringis. "Mau makan?" tawarnya.

ScarletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang