Black Moon Howlers Pack

198 59 16
                                    

Aku kembali ke momen itu

Di mana semuanya berantakan

Aku mencoba untuk menahan emosiku

Sampai aku tak bisa merasakan hatiku

Dan aku tak mengerti,

Bagaimana kau bisa menyelinap ke dalam pikiranku?

>--------000-------<

Aku berlari di antara bebatuan dan belukar tandus yang dingin. Jejak-jejak es menebarkan aroma mereka yang bersenjata. Dengan penglihatan tajam, aku berusaha mengincar salah satu dari mereka yang paling lemah.

Mereka bersiap dengan senjata di tangan, sementara aku meringkuk terdiam sambil memicingkan mata. Aku sengaja mengincar barisan paling belakang di antara semuanya dan sekarang, waktunya beraksi.

Aku melompat, mencabik lehernya tanpa ampun hingga tak bernyawa. Dengan sigap, aku menyeret tubuhnya ke salah satu bebatuan besar untuk bersembunyi. Wujud Serigalaku perlahan berubah, kemudian aku melepas mantel hangat pria itu dan memakainya.

Tak lupa juga kupakai sarung tangannya yang tampak kebesaran, tapi aku mengencangkannya dengan tali agar tak terlepas. Dengan tangan gemetar, aku mengambil seluruh senjatanya yang hampir semuanya terbuat dari perak.

Tapi senjata yang paling mematikan di antara yang lain adalah...senapan laras panjang. Rupanya dia membawa banyak peluru. Aku memakai topi khas pemburu dan juga...kain untuk menutupi separuh wajahku.

Kususul rombongan yang lain dengan penyamaran yang sempurna. Puluhan lolongan menggema diiringi suara tembakan yang memekakan telinga, pertanda para Hunter sudah mendekati wilayah werewolf.

Saat situasinya semakin tegang, aku segera memisahkan diri perlahan dan berlari menuju kegelapan. Sengaja kucari jalur lain untuk bisa berada di posisi siap menyerang. Geraman dan ledakan tak bisa terhindarkan saat dua kubu berlawanan itu bertemu.

Para Hunter terus menembaki Serigala yang berusaha mendekatinya. Sebagian ada yang berhasil lolos dan menerkam salah satunya, tapi langsung ditembak oleh yang lain. Pemandangan nahas ini...akhirnya kembali terulang di depan mataku.

Aku segera memanjat pohon besar dan bertengger di atasnya. Dengan tubuh tertutup dedaunan yang lumayan rimbun, aku mulai mengarahkan senapanku ke arah para pemburu. Jujur, ini pertama kalinya aku menggunakan senjata yang membuatku trauma, tanganku jadi sedikit gemetar karenanya.

Seharusnya aku tak pernah memakai senjata ini. Itu akan membuatku sama seperti mereka, bukan?

Aku menurunkan senapanku lagi karena ragu. Kupejam mataku erat sekali lagi, melawan ketakutan dan mendebat akal sehatku. Jika aku memakai senjata, sama saja aku seperti mereka, tapi...aku pun tak bisa bertarung jarak dekat ketika mereka bisa menembak dari kejauhan. Bisa-bisa aku mati duluan sebelum menyentuh lawan.

Mataku kembali terbuka saat suara tembakkan menggema, diikuti suara lolongan pesakitan. Kuangkat senjataku lagi, persetan dengan prinsip bertarung! Yang paling penting, aku harus menumbangkan mereka semua sebelum memakan korban lebih banyak.

Aku membidik salah satu yang berada di garis depan. Sambil menahan napas, aku menarik pelatuk--tepat mengenai kepala. Orang itu langsung tumbang, sementara di sebelahnya tampak kebingungan.

Kutembaki mereka satu persatu dan langsung tewas seketika. Aku tahu mereka memakai pelindung di tubuh mereka, itulah mengapa aku langsung mengincar kepala.

"Asalnya dari pohon itu!" teriak salah satu. "Tembak dia juga!"

Aku merunduk untuk berlindung saat puluhan peluru terlontar ke arahku. Walaupun begitu, tubuhku tetap terluka akibat serempetan biji perak, bahkan ada salah satu yang berhasil membuat jariku hancur.

ScarletWhere stories live. Discover now