Asosiasi Pemburu

211 69 16
                                    

Aku mengedarkan pandangan saat mendapati hutan gelap yang aneh. Tanah yang kupijaki bukan berupa butiran salju yang dingin, tapi sebuah tanah yang dipenuhi daun kering. Aroma ranting yang rapuh terasa begitu kuat. Tak ada aroma es sedikit pun seolah-olah aku berada di hutan musim gugur.

"Aku ada dimana?" gumamku.

Aku berjalan dengan waspada. Hanya suara dedaunan yang bergemerisik memenuhi udara. Setelah berkeliling cukup lama, aku melihat bayangan Serigala yang cukup besar. Dengan rasa penasaran, aku mendekatinya.

Aku terkesima dengan sosoknya. Untuk pertama kalinya, aku melihat Serigala bertubuh besar, bahkan mungkin...lebih besar dari para Alpha. Tatapannya tertuju pada Purnama kebiruan yang sendu--cukup lama.

Setelah Purnama hilang tertutup awan, kini tatapannya beralih padaku. Serigala itu memiliki bulu berwarna putih cerah, sangat kontras dengan suasana temaram di sekitarnya. Ia juga memiliki mata berwarna biru yang indah dan membuat hatiku sedikit sejuk. Sungguh werewolf yang sangat langka dan sepertinya...sangat kuat.

Ia beranjak dari tempatnya dan mendekatiku, membuatku jantungku berdebar kencang. Ia menatapku tajam dan mata birunya menyala lembut. Hatiku seperti ditusuk, antara terpana dan juga takut.

"Ternyata kau hanya pembual yang lemah," ucapnya dingin. "Kalau kau hanya bisa merengek seperti itu lebih baik kau mati saja."

Tak lama ada sosok pemuda yang muncul di belakangnya. Semakin lama semakin jelas bahwa sosok itu adalah Daniel. Ia menarik pelatuknya dan tanpa aba-aba, ia menembak jantungku. Aku menjerit, antara melolong dan meringkik. Rasanya sangat sakit dan menyiksa.

Tubuhku terkapar di tanah dan Serigala putih itu mendekatiku, lalu berbisik, "Kau takan bisa melawanku."

Aku tersentak dan mataku langsung terbuka lebar. Lagi-lagi aku mimpi buruk, tapi kali ini lebih memakutkan dari sebelumnya. Peluru perak itu benar-benar terasa nyata saat menembus jantungku walau hanya dalam mimpi.

Tubuhku membeku saat Daniel menodongkan ujung pistolnya di dahiku. Ia menyeringai sambil menyodorkan sepucuk surat. Keningku berkerut saat melihat stempel yang membentuk logo Asosiasi. Aku membukanya, masih dalam posisi terbaring.

"Untuk apa pihak Asosiasi memanggilku? Aku bahkan belum pernah membunuh satu orang pun."

"Kau hanya cukup memenuhi panggilan itu dan jangan banyak bertanya."

"Bagaimana jika aku menolak?"

"Pistolku yang akan berbicara."

Aku terdiam sejenak, menatapnya tajam. "Aku tidak mau."

"Kau yakin tidak ingin bertemu dengan ayahmu?"

Aku memiringkan kepala seraya mengencangkan rahang. "Jadi sekarang kau menggunakan ayahku untuk mengancamku?"

"Terserah apa pendapatmu. Yang jelas, aku harus membawamu ke Asosiasi."

* * *

Hari ini aku benar-benar diajak ke ibukota yang jaraknya lumayan jauh. Awalnya nenek Farida menolak saat Daniel mengutarakan ajakannya padaku. Tapi entah bagaimana, Daniel berhasil meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja.

Meskipun aku sangat waspada, tapi aku juga tak bisa berpikiran buruk tentangnya. Daniel sudah berjanji pada nenek Farida, seharusnya itu sudah cukup meyakinkanku bahwa ia menjamin keamananku di tempat itu.

Aku turun dari kereta kuda dan menatap bangunan megah itu. Di sana terdapat simbol Hunter yang begitu besar sebagai monumen di halaman.

Buluku meremang seketika. Aku meremas gaunku untuk menyembunyikan tanganku yang gemetar. Tak kusangka aku akan datang ke sarang musuh dengan terang-terangan seperti ini. Rasanya...seperti menjemput kematianku sendiri.

ScarletWhere stories live. Discover now