Perburuan Dimulai

202 64 26
                                    

Aku membuka mata. Kudapati diriku sudah berada di kamar. Kulihat lenganku sudah seperti sedia kala, sama sekali tak ada bekas luka sedikit pun. Saat kulihat perutku, di sana juga tak ada bekas luka.

Sepertinya kemampuan regenerasiku sudah normal kembali, tapi...ini sedikit aneh. Regenerasiku bisa dibilang jauh lebih cepat dari seharusnya. Paling tidak, seharusnya masih ada bekas luka sedikit dan baru benar-benar pulih esoknya.

Aku segera bangun dari tempat tidur dan sejenak teringat pada halusinasiku semalam. Wajahku memanas seketika dan merasa bodoh. Ah, sialan!

Aku segera berganti pakaian dengan pikiran kalut. Kepergian nenek Farida terasa seperti mimpi buruk di siang hari. Kuharap wanita tua itu kembali karena jujur, rumah ini terasa sepi tanpanya.

"Sudah bangun rupanya."

Lamunanku buyar seketika. Kulihat sosok pria yang memang sudah di sini sejak semalam.

"Kukira kau sudah pergi."

"Tentu saja tidak. Kita sekarang tinggal bersama, kan?"

"Jangan asal bicara. Aku belum setuju soal itu," sahutku ketus.

"Yah, terserah kau setuju atau tidak. Aku akan mengikutimu."

Keningku mengerut seketika. Dia cukup keras kepala rupanya. Sebenarnya aku merasa terusik jika harus tinggal dengan pria yang...sial, aku teringat kembali halusinasi yang memalukan itu.

Tapi dibanding itu, rasa tidak nyaman ini karena...pemuda ini tengah diincar Asosiasi. Jika ada yang tahu pemuda ini kini tingal bersamaku, maka ia akan segera menemui kematiannya.

"Kusarankan untuk segera pulang ke pack-mu."

Ia terdiam dengan wajah sendu seketika. "Kau terlihat begitu enggan padaku, padahal aku sudah menolongmu."

"Terima kasih, aku sudah mengatakannya semalam."

"Semakin kau mendorongku, semakin aku tak bisa pergi."

"Ada banyak alasan kenapa kau harus pergi. Aku sudah menolakmu, seharusnya kau marah dan membenciku. Mintalah pada Moon Goddess untuk mengubah takdirmu."

Alan termenung lagi. Alisnya terangkat dengan raut frustrasi. "Sekarang sudah terlambat. Aku sudah tak bisa melepasmu."

"Kenapa?"

"Ada banyak alasannya, sama sepertimu yang memiliki banyak alasan untuk menolakku."

Aku menggeleng-gelengkan kepala, tak mengerti dengan apa yang dipikirannya. "Kau dapat pakaian itu dari mana?" tanyaku baru sadar. Kutatap intens pakaiannya yang membuatnya terlihat gagah dan maskulin.

"Aku membeli beberapa pakaian di desa."

"Kau pergi ke desa?" Aku menyalakan perapian yang hampir padam untuk merebus daun teh.

"Yah, mau bagaimana lagi. Scarlet-ku lebih suka hidup dengan wujud manusia, jadi aku hanya mengikuti kehidupanmu."

"Namaku bukan Scarlet," timpalku, sedikit risih dengan panggilan itu.

"Pertama kita bertemu, kau memakai jubah bertudung merah dan itu cocok denganmu, jadi aku memanggilmu Scarlet. Lagipula kau juga enggan memberi tahu namamu, kan?"

"Irina Winter."

Dia ternganga sejenak lalu manggut-manggut. "Nama yang dingin."

"Kau orang kedua yang mengatakan hal itu."

"Sepertinya aku lebih nyaman memanggilmu 'Scarlet'. Itu memberiku kesan pertama saat melihatmu."

"Yah, terserah padamu. Lagipula aku sudah memberi tahu namaku."

ScarletWhere stories live. Discover now