Pengampunan

171 44 28
                                    

Aku membuka mata dengan pekikkan lirih. Tubuhku terasa remuk dalam rengkuhannya kali ini. Kami terbaring di bawah satu selimut yang hangat. Alan benar-benar menyiksaku dalam kendalinya sampai aku tak berdaya. Ia meluapkan amarahnya dengan gelora panas yang menyakitkan.

Untuk pertama kalinya kami bercinta dengan dipenuhi rasa sakit. Seharusnya aku yang marah, kenapa ia yang mendominasi? Aku tahu dia kuat, tapi tak seharusnya ia menggunakan kemampuannya dengan semena-mena padaku, kan?

Masih ingat bagaimana ia menyeretku ke rumah mungil miliknya di tengah hutan dengan kekuatan pengendalinya. Aku sama sekali tak bisa melawan, bahkan seujung jari pun. Walau aku murka sekali pun, ia masih bertahan pada egonya yang mengira perbuatannya adalah sesuatu yang benar.

Kulihat dinding kayu di belakang bahunya. Di sana ada jendela dengan kaca buram akibat salju lebat. Padahal beberapa jam sebelumnya, langit begitu cerah. Secepat itu cuaca berganti, apa akan secepat itu pula perasaanya akan berubah? Jika iya, kenapa hanya dia yang berubah?

"Apa ada bagian yang sakit?" tanyanya. Matanya membuka perlahan

"Hampir semua tubuhku terasa sakit," jawabku parau.

"Apa termasuk perutmu? Anak kita baik-baik saja?" Kali ini matanya terbuka sempurna. Wajahnya tampak khawatir.

Aku tak langsung menjawab dan menatap matanya lekat. Berharap ada perasaan yang terbaca di sana. Mataku menangkap guratan gelisah. Ia begitu mencemaskan anak dalam kandunganku. Aku jadi bertanya-tanya, jika aku tak mengandung anaknya, apa dia akan secemas ini terhadap fisikku?

"Perutku baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir."

Ibu jarinya membelai lembut pipiku. Kali ini wajahnya terlihat lega sekaligus menyesal. "Maaf karena melakukannya dengan kasar."

"Ya," balasku seadanya.

"Bisakah kau mendengar penjelasanku?" Kali ini ia tampak berharap.

Aku berpikir sekali lagi. Mungkin benar, ia pasti merencanakan sesuatu di luar sepengetahuanku dan kali ini ia seperti ingin menjelaskan situasinya.

"Katakan saja."

"Aku membawa Mona bukan tanpa alasan. Aku sama sekali tak bermaksud membuatmu cemburu. Yah, meskipun aku tahu kau akan marah. Kau bahkan sampai maju untuk mengutarakan pendapatmu." Alan mulai berbicara. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, Mona adalah pemimpin Rogue di wilayah timur. Alasanku meminta bantuannya karena Rogue yang dia pimpin cukup banyak dan itu sangat membantu untuk memata-matai pusat Asosiasi. Mereka pastinya akan memberi laporan pada tuannya mengenai situasi di sana. Jika Mona ada di pack, kita takan perlu repot-repot pergi ke wilayah timur untuk mendapat informasi. Para Rogue sendiri yang akan datang pada kita untuk melaporkannya."

Aku mengerutkan kening sejenak. Jika dipikir-pikir, cara itu kurang tepat. Kedatangan mereka ke Black Moon Howlers pack bukankah akan menambah masalah baru? Bagaimana jika ada pemburu yang curiga, lalu mengikuti salah satu dari mereka yang hendak melapor? Bukankah mereka akan tahu jika kami mengirim mata-mata?

Selain itu, kedatangan Rogue untuk melapor juga akan membuat mata-mata di pack tahu jika kami juga mengirim mata-mata dan melaporkannya ke pusat Asosiasi?

Belum lagi, pasti akan ada kecemburuan antara anggota pack dengan para Rogue. Aku khawatir anggota yang lain akan menganggap Alpha-nya tak lagi mempercayai mereka sampai harus mengirim Rogue.

Untuk saat ini, itu yang kucemaskan. Bukankah akan lebih baik, jika pihak pack saja yang datang ke wilayah Tiimur untuk mengetahui informasi Asosiasi agar pack tak terlihat sedang bergerak?

ScarletWhere stories live. Discover now