chapter ten : bringing out the pain

928 105 22
                                    



"We all do things we desperately wish we could undo, and those regrets just become part of who we are, along with everything else."

— Jonathan Naradipta



"Aku pernah punya mimpi yang kalau kata teman-temanku cukup ketinggian sewaktu SMP," Joyce tertawa pelan, dipetiknya setangkai bunga iris biru lalu memutar tubuh dan menghampiri Jonathan yang duduk di atas ayunan kayu—memperhatikannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Aku pernah punya mimpi yang kalau kata teman-temanku cukup ketinggian sewaktu SMP," Joyce tertawa pelan, dipetiknya setangkai bunga iris biru lalu memutar tubuh dan menghampiri Jonathan yang duduk di atas ayunan kayumemperhatikannya. Dia kemudian mengambil tempat duduk tepat di samping laki-laki itu. "Aku pengin punya suami arsitek di masa depan nanti. Menurut kamu di mana letak ketinggiannya, Jo?"

"Nggak ada mimpi yang ketinggian, Joyce. The world is wide open, there's no dream to tall." Balasan Jonathan entah mengapa membuat seulas senyuman lebar membelah wajah cantik Joyce. Senyum cerah yang eksistensinya kemudian dipercantik oleh bias cahaya matahari sore yang menyorot tepat ke arah mereka. "Tapi... kenapa kamu pengin punya suami arsitek? Dari sekian banyaknya profesi yang ada, kenapa harus arsitek?"

"Karena aku jago bercerita," Jawaban yang dilontarkan oleh Joyce sedikit membuat kerut penuh tanya muncul di antara alis tebal Jonathan. "Aku mau partner arsitekku nanti merealisasikan apa yang aku deskripsikan soal rumah masa depan kami lewat tangan dinginnya dalam bentuk visual. Pasti bakal menyenangkan deh, Jo. Aku yang mendeskripsikan gimana-gimananya mulai dari front yard, interior seisi rumah, sampai back yard, terus dia yang bikin visualisasinya."

"Jadi istilah sederhananya, kamu jadi otaknya sementara dia jadi tangan yang memvisualisasikan apa yang diinginkan si otak?" Jonathan mengangkat salah satu alisnya ketika menyimpulkan, yang kemudian dibalas dengan anggukan dari Joyce. "Kamu keren. Jarang ada anak usia SMP punya mimpi serealistis itu."

"Kalau kamu sendiri, Jo?" Kali ini, giliran Joyce yang bertanya. "Kamu juga punya mimpi?"

Jonathan terdiam sejenak. Apakah dia punya mimpi? Punya keinginan seperti Joyce yang menginginkan seorang partner arsitek yang bisa mewujudkan gambaran rumah masa depannya dalam bentuk visual?

Sejak ayahnya meninggalkannya dan ibunya untuk orang lain lalu mereka resmi bercerai tidak lama setelahnya, Jonathan menjalani hidupnya hanya untuk hari yang saat itu sedang berjalan. Dia tidak pernah hidup dalam bayang-bayang masa lalu, juga tidak pernah hidup dengan berandai-andai mengenai masa depan.

"Tadinya aku nggak yakin apa aku punya mimpi atau enggak." Jonathan akhirnya menjawab. Pandangannya terarah lurus ke depan, pada tiga pot berukuran sedang yang diletakkan berjejer dengan oakleaf hydrangea yang menghiasinya. Ibunya suka sekali mengoleksi berbagai macam tanaman hias. Mungkin memang begitu caranya mengungkapkan rasa sakit yang selama ini dia pendam dalam dirinya.

Joyce menoleh untuk menatap laki-laki di sebelahnya, sedikit terkejut dengan jawaban yang dia berikan. "Kenapa?"

"Karena aku sudah lupa gimana caranya bermimpi sejak ayahku pergi." Jonathan ikut menoleh untuk menatap Joyce. Senyumnya terulas samar ketika melihat bagaimana sorot cahaya matahari dari kejauhan membuat warna mata perempuan itu jadi terlihat lebih jernih. Persis seperti cokelat almond yang dipanaskan hingga meleleh. "Tapi baru-baru ini, aku rasa akhirnya aku punya satu mimpi baru yang mau aku capai di masa depan nanti."

BITTERSWEET LOVEWhere stories live. Discover now