chapter twenty-nine : you are my home

484 74 18
                                    



"The course of true love never did run smooth."



HE might be your first love, but I intend to be your last

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

HE might be your first love, but I intend to be your last. However long it takes.

Terhitung sampai detik ini, Joyce tidak bisa mencerabut kata-kata itu dari dalam pikirannya. Dari caranya bertutur kata, Joyce tidak perlu berpikir panjang untuk tahu kalau Jayden sungguh-sungguh dengan perkataannya. Sejak mengenalnya lebih jauh tiga tahun lalu, Jayden memang hampir selalu bersungguh-sungguh dengan semua perkataannya. Dan kalau boleh jujur, kata-kata tersebut merupakan kata-kata paling romantis yang pernah diucapkan seorang laki-laki padanya sepanjang tiga puluh tahun dia hidup.

Joyce sadar kalau apa yang pernah mereka miliki bersama tiga tahun lalu memang bisa dibilang cukup singkat, namun dalam waktu singkat yang hanya berlangsung selama beberapa bulan tersebut, Joyce merasa berhasil membangun semacam koneksi yang sebelumnya tidak pernah dia miliki dengan laki-laki lain selain Jayden. Dengan Jonathan dia pernah merasakan hal yang sama, tapi tidak pernah sampai terasa sedalam ini.

It is some kind of profound connectionan emotional bonding that goes beyond just physical attraction, but instead connecting on a deeper soul level.

Dan Joyce merasa begitu aman—begitu nyaman—pernah terkoneksi sedalam itu dengan Jayden Lee.

"Earth calling Joyceline!" Dante menjentikkan jarinya di depan wajah Joyce ketika lagi-lagi dia mendapati perempuan itu seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri—hal yang cukup sering Joyce lakukan setelah dia kembali dari acara pelelangan seni di Florence beberapa hari yang lalu.

Joyce mengerjapkan matanya beberapa kali. "Sorry. Ada lumayan banyak hal yang menggangguku beberapa hari terakhir ini." Dia tersenyum kikuk pada Dante yang duduk di seberangnya. Saat ini, mereka sedang makan siang bersama di Twin House—sebuah kafe dan resto yang terletak di wilayah Cilandak, Jakarta Selatan—hanya berjarak lima belas menit dari kantor Joyce, dan dua puluh menit dari galeri seni Dante. "Kamu bilang apa tadi?"

"Kamu makan steak kamu itu dulu, deh. Sayang banget dianggurin mulu dari tadi. Baru beberapa potong masuk mulut ditinggal melamun." Dante meletakkan cangkir americano yang baru saja dia sesap isinya ke samping piringnya yang sudah kosong. "Itu menu spesial paling best seller di sini, loh."

"It's okay. Aku bisa dengerin kamu sambil habisin sisa makananku." Joyce kembali memotong-motong sisa steak di atas piringnya. Menyuapkan satu potong ke dalam mulut, dia lalu kembali bertanya, "Kamu bilang apa tadi?"

"Kurang lebih dua bulan lagi kan aku mau mengadakan pameran seni rupa dalam rangka memperingati satu tahun berdirinya galeri seniku." Dante mengulang perkataannya yang tadi sepertinya tidak Joyce dengarkan karena sibuk melamunkan entah apa. Dia sudah punya firasat kalau Joyce akan menolaknya lagi, tapi dia tidak akan pernah berhenti mencoba. "Dan aku mau kamu berbesar hati menunjukkan satu atau dua lukisan yang kamu buat di acaraku nanti, Joyce. Terutama satu lukisan kamu yang paling spesial itu." Dia menambahkan senyum hiperbolis pada akhir kalimatnya.

BITTERSWEET LOVEWhere stories live. Discover now