Bab 21 - Maria Menghadapi Ujian Akhir

524 68 6
                                    

Akibat dapur yang berantakan mereka menjadi terlambat dalam menyiapkan makan malam. Setelah kejadian itu, ketiganya disuruh untuk membersihkan badan lagi. 

Arya tetap memenuhi tugasnya untuk menyediakan makan malam. Namun, kali ini dengan pengawasan Mak Siti. Jika tidak, bisa-bisa kedua pemuda itu akan kembali bermain-main dan mereka tidak akan makan malam sama sekali.

Di meja makan, pembicaraan kakek masih seputar rencana menikahkan Arya dan memingit Maria. Baik keduanya maupun Hermand sama-sama tidak mencoba menyangkal atau melawan. Tapi dari sudut matanya, Hermand bisa melihat Arya berusaha keras menahan ekspresinya agar tetap terlihat tenang ketika kakek membahas rencana untuk memingit Maria lalu mencarikannya suami yang menurut keluarga mereka pantas.

"Ahhh... aku kok rasanya mengantuk ya, Kakek," kata Arya sambil menguap lebar. "Apa kami boleh tidur sekarang? Besok Hermand harus pulang pagi-pagi sekali ke kota."

Akhirnya Arya tidak tahan lagi. Ia memasang tampang memelas dan mengantuk agar kakek berhenti membahas hal menyebalkan itu.

"Generasi muda sekarang payah," omel Kakek. "Masa baru jam sembilan sudah mengantuk."

"Yah... salahkan Hermand, Kek. Dia yang memberi pengaruh buruk," kata Arya ringan. "Sebagai anak residen, hidupnya terlalu enak. Kami jadi terpengaruh."

Hermand merungut tetapi tidak menyangkal. Ia juga sudah malas berlama-lama mendengar pembahasan tentang pernikahan Maria dalam waktu tidak lama lagi setelah gadis itu lulus HBS.

Awalnya ia ingin tahu lebih banyak sudut pandang keluarga, untuk dapat memahami posisi Arya dan Maria, tetapi kini rasanya ia sudah cukup mendengar. Semakin lama, rasanya ia menjadi semakin kasihan kepada gadis-gadis di negeri jajahan ini. Budaya mereka sangat konservatif dan terbelakang.

Setelah kakek mengizinkan, ketiga orang muda itu lalu pergi ke kamar masing-masing dan beristirahat. Maria tidur di kamarnya sendiri, sementara Hermand dan Arya berbagi kamar.

***

Pembicaraan itu mereka tinggalkan di Ciwidey. Saat kembali ke Bandung, ketiganya fokus mengejar ujian yang sudah di depan mata. Arya yang telah berkeinginan mengubah cita-citanya di detik-detik akhir harus mengejar ketertinggalannya dalam urusan pelajaran.

Maria sendiri tengah mempersiapkan diri untuk ujian akhir. Dengan otak geniusnya, ia berhasil ikut kelas percepatan dan berkesempatan untuk lulus lebih cepat. Hermand sendiri lebih santai dalam menghadapi sekolah. 

Cita-citanya tak perlu banyak mengetahui ilmu sains. Ambisinya juga tidak sekuat Arya. Setelah lulus HBS, ia berencana masuk ke akademi militer di Belanda. Keluarganya memang keturunan militer dan kedua kakaknya sekarang sudah menjadi perwira yang cukup sukses.

Mereka bertiga masih sering mengunjungi perpustakaan bersama. Seperti hari ini, mereka bertiga tengah duduk di taman perpustakaan. Arya dan maria duduk di atas rumput dengan tiga jenis buku yang berbeda. Arya tak sungkan bertanya kepada Maria tentang sebuah rumus matematika dan Maria juga sama sekali tak keberatan menjelaskan sembari memberi contoh.

Otak genius Maria kadang memroses hal terlalu cepat sehingga membuat Arya kewalahan mengejar penjelasannya. Namun tak sekali pun ia mencoba memotong penjelasan Maria. Hermand menahan diri untuk tidak tertawa saat ia melihat raut wajah Arya yang terlihat kosong karena yang tak paham akan penjelasan Maria.

Ah, ia mengerti sekali rasanya. Pernah ia meminta diterangkan rumus Matematika yang cukup sulit oleh Maria dan hasilnya ia merasa kepalanya panas hingga mengeluarkan asap.

Hermand tahu diri. Ia sering merasa dirinya cukup tertinggal setelah Arya menyatakan keinginannya untuk menjadi dokter dan kelihatan sangat serius dengan niatnya itu. 

Arya sebenarnya pandai, tetapi ia banyak tertinggal dalam akademik karena sebelumnya ia malas belajar. Kini, keteguhannya untuk mengejar ketinggalan perlahan mulai membuahkan hasil. Ini bisa dilihat dari nilai tugas hariannya yang kian meningkat

"Jadi, aku tak perlu repot menyamakan angka pembilangnya terlebih dahulu, ya?" tanya Arya sambil menggangguk-angguk.

Maria menggeleng dan Arya mengucapkan terima kasih.

"Hei, jika Senin depan adalah ujian akhirmu, maka apa itu artinya kau tak akan ke sekolah lagi?" tanya Hermand pada Maria.

Gadis itu menoleh ke arah Arya sebentar kemudian mendesah sedih.

"Kalau dia lulus," jawab Arya, mewakili Maria.

Senin depan adalah ujian akhir Maria sebagai seorang murid. Jika ia berhasil lulus maka Maria akan menerima ijazah HBS. Artinya Hermand akan duduk sendiri di bangkunya jika saat itu datang. Ia tak bisa membayangkan sepinya hari sekolah tanpa Maria. Meskipun gadis itu jarang bersuara namun kehadirannya sangat menyenangkan.

Namun bukan itu saja yang Hermand khawatirkan. Ia tidak terlalu peduli dengan kehilangan teman sebangku. Ia mengkhawatirkan hal yang lain. Ia tahu Arya juga mengkhawatirkan hal yang sama. Sejak kepulangan mereka dari Ciwidey, ia tak lagi membicarakan perilah nasib Maria setelah lulus.

"Maria anak yang pintar. Ujian akhir sekolah jelas akan mudah baginya. Aku yakin ia pasti bisa lulus," ujar Arya.

Pemuda itu meletakkan bukunya dan merebahkan diri di atas rumput. "Seandainya kita bisa lebih lama bersama. Maksudku, belajar bersama seperti ini akan sungguh menyenangkan. Sepulang sekolah kita bisa mampir ke kedai teh atau ke Gedung Sate untuk meminjam buku bersama. Bersepeda bersama juga seru..."

Hermand mengangguk setuju dan ikut merebahkan diri. "Jika Maria lulus, siapa yang menyenggol lenganku agar tidak tertidur di kelas? Dan siapa yang akan mengajariku tentang algoritma lagi?"

Maria masih duduk diam. Ia menoleh ke arah kanan tempat Arya rebahan kemudian beralih ke arah kiri untuk melihat Hermand yang juga berebahan.

Ia kembali membaca hipotesa dari sebuah jurnal yang dipegangnya. Namun setelah mendengar ucapan Arya dan Hermand kenapa ia sulit untuk fokus?

Maria membaca beberapa kali kalimat yang sama tetapi, tak seperti biasanya, kali ini ia menyerah. Maria menatap halaman luas di depannya.

"Sekolah menyenangkan," ujar Maria dan kedua pemuda di sisinya membenarkan.

"Jika ada Maria di sana," sambung Arya dan Hermand bersamaan.

"Tapi melihat Maria lulus akan lebih membahagiakan," kata Arya pelan.

Ia sebenarnya tidak benar-benar tulus mengucapakan itu. Ia hanya tidak ingin Maria berkecil hati tentang dirinya yang akan segera lulus sekolah. Kebahagiaan Maria adalah belajar dan ujian adalah wadah pembuktian dirinya untuk usahanya selama ini. Jadi tentu saja Arya tidak ingin menahan Maria lebih lama di sekolah karena ini menyangkut nilai integritas Maria sendiri.

Ketakutannya akan ucapan kakek mengenai Maria yang akan dipingit tidak boleh menghalangi kebahagiaan Maria. Ia yakin akan ada banyak cara untuk menghindari pingitan tersebut.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang