Bab 39 - Bermain Air

132 33 4
                                    

Arya yang masih terpana melihat Maria tertawa tak sadar jika setengah celananya hampir basah oleh air laut. Ia yang tak ingin ketinggalan bersenang-senang lalu serentak menyirami Maria dengan air laut. Dengan cepat Maria menghindar karena tak ingin pakaiannya basah.

"Arya hentikan!" serunya panik.

"Tidak mau!" balas Arya. "Kalau aku basah, kau juga harus basah."

Arye terus menciprati Maria. Jika gadis itu berlari menjauh maka Arya pun akan mengejarnya dengan setangkup air di tangannya kemudian melemparkannya ke udara.

"Aaaahh!!!"

Arya tertawa terbahak-bahak saat Maria berteriak menghindari serangannya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Maria berteriak sekencang itu dan perutnya mulai terasa sakit akibat terlalu keras tertawa. Maria yang tak ingin kalah pun membalas dengan cara yang sama.

Keduanya berlarian kian kemari bergantian saling kejar-kejaran untuk menyirami yang lain dengan air laut.

Arya yang kelelahan lalu mengangkat kedua tangannya kemudian berlari ke tempat kain piknik mereka yang terhampar.

"Aku lelah," katanya dengan nafas yang tersengal. "Sudah, berhenti yaa..."

Maria juga yang kelelahan menyusul untuk duduk di tepat yang sama. Untunglah Arya menghamparkan kain piknik mereka di tempat yang cukup rindang sehingga mereka bisa beristirahat dari terik matahari. Pakaian mereka setengah basah oleh air laut dan keringat.

Permainan mereka tadi sangat menyenangkan tetapi menguras banyak tenaga dan sekarang keduanya kelaparan. Arya pun mengulurkan sebuah roti lapis yang mereka bawa dari rumah untuk mengisi perut keduanya. Buku tebal di dalam tas yang dibawa oleh Maria bahkan sama sekali tak tersentuh dan sekarang digunakan oleh Arya sebagai bantal untuk merebahkan kepalanya menikmati angin laut yang menyegarkan.

Senyum sama sekali tak meninggalkan bibirnya. Hal itu mengingatkannya akan keseruan kecil yang pernah ia lakukan di rumah kakeknya bersama Maria dan Hermand. Perang tepung dan bahan makanan membuat dapur milik kakeknya berantakan. Mungkin seandainya ada Hermand di pantai ini permainan mereka akan lebih seru. Arya menoleh ke arah Maria yang masih memakan roti lapis nya dengan pelan.

Tidak, ini yang terbaik. Ia bisa menghabiskan waktu berdua saja dengan Maria tanpa ada Hermand.

Maria bangun dari duduknya kemudian mengambil sekop kecil juga ember yang Arya letakkan di dalam tasnya. Arya sengaja membawa peralatan berkebun milik ibunya untuk membuat istana pasir nanti.

"Aku boleh membuat istana pasir?" tanya Maria dengan binar di matanya.

"Kau tak lelah? Beristirahatlah lebih lama lagi," jawab Arya yang kemudian bangun dari rebahannya.

Maria menggeleng.

"Kau duluan kalau begitu, aku masih lelah," ucap Arya membuat Maria tersenyum senang.

Arya masih duduk di tempatnya kemudian mengambil satu potong roti lagi untuk dimakan. Sambil mengunyah, kedua matanya tak berhenti memandangi Maria yang tengah mengumpulkan pasir basah dari bibir pantai.

Jiwa melankolisnya kembali membuat Arya terhanyut dalam pengalaman itu. Ia meraih buku catatan kuliahnya dan sebuah pensil. Hanya dengan melihat Maria yang tersenyum dan berpikir keras saja Arya menuliskan sesuatu di atas lembaran kertas kosong di tangannya.

Kata perkata ia tuliskan tanpa berpikir panjang. Saat berganti bait, ia merasa begitu emosional. Sudah lama rasanya ia tidak lagi menorehkan sebuah tulisan untuk menuangkan perasaan juga kata hatinya. Ia melirik Maria sekali lagi kemudian menyugar rambutnya lalu lanjut menulis.

Setelah selesai menulis, Arya merobek puisi sederhana yang ditulisnya kemudian dilipat dengan rapi. Disimpannya kembali buku catatannya dan pensil ke dalam tas kemudian ia bangkit untuk bergabung bersama Maria. Kertas puisi yang ditulisnya tadi masih tersimpan rapat di saku belakang celananya.

Tanpa meminta izin, ia mengambil ember kecil kemudian membantu Maria untuk membentuk istana pasir. Arya membantu menambahkan beberapa ukiran jendela dan pintu dengan sebatang kayu.

Maria dengan teliti menambahkan pagar pembatas istana yang juga terbuat dari pasir. Arya dengan telaten membuat dua pasang orang yang berdiri di samping istana. Maria yang selesai membuat pagar pembatas memperhatikan tangan Arya yang sangat gesit membentuk pasir basah tersebut menjadi beberapa bentuk yang sulit.

"Itu siapa?" tanya Maria menunjuk dua orang di samping istana yang dibuatnya.

"Dirimu dan aku. Pemilik istana ini," jawab Arya singkat membuat Maria tersenyum. 

Setelah menyelesaikan istana mereka, Arya dan Maria berdiri bersisian untuk memperhatikan keseluruhan hasil mahakarya mereka yang terbuat dari pasir.

Rasanya berat untuk meninggalkan istana itu. Hal itu juga dirasakan oleh Maria. Keduanya telah membangunnya dengan sangat baik tetapi harus ditinggalkan begitu saja. Mau dibawa pulang pun rasanya tidak mungkin. Lama kelamaan pun hanya akan terkikis oleh ombak air laut dan angin pesisir yang kencang.

"Rasanya berat untuk meninggalkan istana ini, kan?" tanya Arya sambil menyenggol Maria. Gadis itu mengangguk sebentar, tak kunjung berhenti memandangi istana pasir di depannya.

Arya pun mengeluarkan secarik kertas berisikan puisi yang sedari tadi disimpannya di saku celana.

"Maria, untukmu."

Maria menatap secarik kertas itu kemudian memandangi Arya sesaat. Saat Arya kembali mengulurkan tangannya, barulah Maria mau menerimanya.

"Jangan dibuka dulu. Simpanlah dengan baik," kata Arya sambil tersenyum. "Kau baca di rumah saja."

Maria menatap bingung kertas itu kemudian mengangguk. Ia pun menyimpan kertas itu pada saku gaunnya dan tersenyum ke arah Arya.

"Terima kasih," balasnya tersenyum simpul.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang