Bab 32 - Lagi-Lagi Disuruh Menikah

154 38 7
                                    

Kabar Arya lulus masuk GHS menyebar dengan cepat. Malam itu juga mereka berangkat ke Ciwidey untuk melakukan acara syukuran yang didatangi oleh banyak sanak keluarga juga teman-teman Kakek. Mereka semua mengucapkan selamat kepada Arya. Pujian-pujian tak pernah berhenti Arya dapatkan. ENtah tulus atau tidak, tapi Arya menerima semua itu dengan senyuman.

"Tidak diragukan lagi, Arya adalah putra Raden Panji. Anak itu akan tumbuh dewasa seperti ayahnya. Tampan, pintar dan berasal dari keluarga yang mapan. Siapa pun yang akan menjadi sitrinya akan sangat beruntung sekali."

Alis Arya berkedut saat tak sengaja mendengar obrolan dari seorang Wedana yang berkunjung. Ia bahkan belum memulai kehidupannya menjadi seorang siswa kedokteran tapi mereka sudah membicarakan urusan jodoh saja.

Setelah acara syukuran usai, Arya mencari Maria karena kakek ingin berbicara dengan mereka. Ia memanggil Maria yang sedang sibuk membersihkan sisa acara syukuran bersama sepupu-sepupu perempuannya yang lain.

Maria segera merapikan rok batiknya dan menyusul Arya segera. Di ruang tamu, Kakek sudah menunggu dengan para istrinya juga anak-anaknya yang lain. Paman-pamannya yang lain juga ikut berkumpul bersama.

"Arya, kemarilah," panggil Kakek. Pemuda itu pun melepaskan tangan Maria dan duduk di sebelah kakek. Maria sendiri emmeilih di sebuah sofa dekat Ibunya.

"Ini dia, cucu laki-laki satu-satunya Kakek yang sangat Kakek banggakan," ujar Kakek membuat wajah Arya merah merona. Terlihat beberapa ekspresi malas dari paman-pamannya karena mereka tahu bahwa Arya adalah cucu laki-laki satu-satunya yang juga mampu masuk ke GHS. Tentu saja Kakek akan semakin memanjakan cucunya itu.

"Sebagai hadiah masuknya Arya ke Ghs, Kakek akan membelikan sebuah rumah di Batavia agar Arya bisa semakin fokus belajar di sana."

Terdengar beberapa seruan kagum dari sepupu perempuannya yang lain. Arya hanya tersneyum kemduian mengucapkan terima kasih kepada Kakeknya.

"Terima kasih, kek. Arya kana belajar dengan lebih giat lagi."

Kakek tertawa senang dan menepuk pundak cucunya dengan bangga. Akan tetapi tawa Kakek hanya berlangsung beberapa detik saja. Pria itu menjadi lebih serius saat memegangi pundak Arya seakan ingin pemuda itu benar-benar mendengarkan nasihat yang akan ia berikan.

"Tapi Arya, kau sudah dewasa. Kakek ingin mengingatkanmu lagi tentang untuk segera mencari istri agar ada orang yang mengurusmu selama kau belajar di Batavia."

Arya dengan terang-terangan menghembuskan nafasnya berat. Kakek terlihat tidak tersinggung oleh sikap cucunya barusan. Tetapi beberapa pamannya merasa tidak suka karena hanya Arya yang bisa bersikap tidak sopan seperti itu.

"Aduh, Kakek. Aku sudah membuktikan kepada Kakek selama lima tahun terakhir kalau aku bisa mengurus rumah seorang diri. Memasak pun aku bisa. Tak perlu mencari istri," jawab Arya dengan santai.

"Kakek tahu, tapi kau harus fokus dalam belajarmu. Biarlah urusan rumah dilkerjakan oleh istrimu saja."

"Aduh, aku ini masih baru masuk sekolah. Butuh penyesuaian dulu, Kek. Lagi pula menikah kan bisa nanti-nanti. Memiliki istri juga hanya akan mengalihkan fokusku saja. Lagi pula ada Maria, Maria bisa membantuku di Batavia nanti."

Kakek menggeleng pelan. "Tidak, Maria juga sudah sembilan belas tahun, sudah menjadi perawan tua. Sudah saatnya menikah juga. Kakek sudah lama membiarkannya melajang. Itu sebuah kesalahan."

Mendengar kakek menyebut Maria adalah perawan tua membuat Arya berkerut kesal. Ia melirik Maria yang duduk dengan kepala menunduk di samping ibunya. Sekali lagi, Arya mendesah panjang menunjukkan ketidaksukaannya atas ucapan sang kakek.

Apa maksudnya usia sembilan belas dikatakan perawan tua? Memang selama ini di keluarganya, anggota keluarga yang perempuan selalu menikah di usia lima belas dan enam belas. Ini kan hanya selisih tiga tahun! Maria juga masih sangat muda, tidak memiliki keriput di wajahnya!

"Bagaimana bisa Kakek menyebut Maria sebagai perawan tua? Dia baru sembilan belas tahun, Kek! Wajahnya masih terlihat seperti bayi, jauh dari tanda-tanda penuaan. Lihatlah, apa Kakek melihat rambut Maria telah beruban? Jika tidak, maka Maria bukanlah perawan tua. Maria adalah perempuan pintar yang kebetulan memilih untuk single!"

Kakek mengerlingkan matanya saat dirasa Arya terlalu berlebihan merespon ucapannya. Pandangan Kakek dan Arya tidak pernah selaras. Bagi Kakek sembilan belas tahun adalah usia yang sangat terlambat untuk menikah. Dan jika tidak ada orang yang ingin menikah dengan Maria nanti, itu hanya akan menjadi aib keluarga karena mereka akan berbicara yang buruk-buruk tentang Maria. Tentu saja Kakek menyayangi Maria, maka dari itu ia tidak ingin ada ucapan buruk mengenai cucunya itu.

"Sudahlah, Kek. Saat ini aku ingin fokus dulu menjadi seorang dokter. Menikah atau tidak, itu urusan nanti. Begitu juga dengan Maria. Aku bisa masuk GHS ini juga kan sembilan puluh persennya kan berkat bantuan dari Maria juga. Dari pada mengatakan yang tidak-tidak lebih baik kita bersyukur saja. Jika Maria menikah kemarin maka ia tidak bisa mengajariku dan mungkin saja aku gagal masuk ke GHS," lanjut Arya penuh penekanan.

"Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau sudah siap menikah?" tanya seorang paman yang lagi-lagi membuat Arya mengerlingkan matanya jengah.

Kenapa semua orang selalu berbicara tentang menikah dan menikah? Tanya Arya dalam hati. Baginya masih banyak hal lain yang bisa mereka bahas selain mereka. Bahkan acara tasyakuran malam itu ditujukan pada dirinya yang akan masuk GHS. 

Kenapa mereka tidak bertanya bagaimana cara ARya belajar sampai tembus sekolah kedokteran. Siapa tahu saja, ada saudara sepupunya yang lain yang memiliki keinginan yang sama. APa mereka juga tidak ingin anak mereka masuk sekolah kedokteran juga. Atau paling tidak, tanyalah tentang apa yang akan Arya lakukan setelah menjadi dokter nanti.

Arya menggelengkan kepalanya tidak tertarik. Meski pun ia tidak tertarik akan pembahasan itu Arya tetap memberikan jawabannya.

"Untuk saat ini tidak dulu. Aku belum masuk ke sekolah. Masih butuh banyak penyesuaian yang harus aku lalui sebagai mahasiswa baru. Bahkan aku belum melalui masa orientasi, bagaimana bisa aku berpikir untuk menikah saat ini."

"Tapi kan setidaknya jika kau menikah akan ada yang mengurusmu?"

Tidak dengan alasan klise ini lagi. Rasanya Arya mau kabur saja membawa Maria keluar dari perkumpulan keluarga ini. Ia melirik ibunya juga yang menanti jawaban dari Arya. Sepertinya Ibunya juga memiliki keinginan yang sama. Agar ia cepat menikah sehingga ada yang akan mengurusnya selama di Batavia.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang