Bab 35 - Piknik

134 34 1
                                    

Acara orientasi mahasiswa di hari pertama cukup menguras tenaga Arya. Pengenalan GHS dan sistem sekolah yang jauh berbeda saat ia berada di HBS dulu. Satu hal yang Arya catat dari kegiatan orientasi tadi adalah para mahasiswa lebih suka mendebat dosen mereka dan lebih aktif bertanya tidak seperti masa sekolah yang menerima apa pun yang guru mereka berikan.

Maka dari itu ke depannya Arya akan belajar lebih giat lagi untuk tidak ketinggalan. Ia tidak ingin kalah oleh teman-teman blasteran atau belandanya yang lain. Ia sebagai cucu bupati masih memiliki kesempatan besar untuk mendapatkan pendidikan lebih.

Ia tak perlu khawatir untuk masalah keuangan. Kakeknya sendiri bilang akan membelikan seluruh buku yang Arya butuhkan dan menyediakan biaya untuk segala keperluannya selama ia menjadi mahasiswa. Jadi tidak ada alasan bagi Arya untuk bermalas-malasan karena sumber daya telah tersedia.

Arya memasukkan sepedanya ke dalam halaman rumah. Di depan teras rumah ada ibu yang tengah menjahit bersama Maria. Tubuhnya terasa lelah sekali. Kepalanya terasa kaku karena berpikir seharian penuh. Ia butuh menyegarkan diri kembali. Arya pun berniat mengajak ibunya untuk makan di restoran terdekat bersama Maria juga.

"Kau sudah pulang? Bagaimana kuliah hari pertama?" tanya Ibu saat Arya mencium punggung tangannya.

"Melelahkan tapi aku cukup menikmatinya. Di awal terasa sangat canggung karena sepertinya hanya aku orang pribumi tapi mereka semua sangat baik. Aku sudah mulai berteman dengan beberapa orang di sana," ujar Arya dengan senyum khasnya.

"Ibu, tak jauh dari sini ada sebuah taman kota. Ayo kita jalan-jalan ke sana. Lumayan mencari makanan agar tidak perlu memasak untuk nanti malam," kata Arya sambil duduk di samping ibu. Ia telah melupakan rasa letih yang ia rasakan selama perjalanan pulang tadi.

"Tadi kau bilang lelah, kan?" tanya ibu.

Arya tertawa kecil dan menggaruk kepalanya. "Tapi aku rasa menghabiskan waktu bersama Ibu dan Maria akan menghapus penatku. Aku akan bersemangat lagi jika bisa menghabiskan waktu bersama Ibu dan Maria. Bagaimana? Ada sebuah toko bunga besar juga tak jauh dari alun-alun kota. Ibu bisa ke sana dan memilih banyak tanaman. Bukankah kemarin ibu bilang ingin menghabiskan waktu untuk memperindah halaman depan dan belakang?"

Ibu melihat ke arah langit yang sudah menjingga.

"Tapi sebentar lagi hari akan berakhir. Ajak saja Maria. Ibu akan menunggu di rumah. Kita akan pergi bersama ke toko bunga di hari liburmu saja."

Sangat disayangkan ... padahal Arya ingin juga menunjukkan lingkungan sekitar kepada ibunya. Dengan tembok tinggi yang melindungi rumah mereka, Ibu semakin mengucilkan diri di rumah baru itu. Padahal Arya ingin ibunya ikut berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Mungkin kalau di Bandung, Ibu telah dikenal sebagai anak mantan bupati dan istri seorang jaksa maka orang-orang lebih segan. Di sni, tak ada yang mengenali ibu kecuali ibu bercerita siapa keluarganya.

Arya pun mengurungkan niatnya. Mungkin lain kali ia punya kesempatan lain untuk memperkenalkan ibu dengan lingkungan sekitar.

Kini pemuda itu beralih ke arah Maria.

"Bagaimana? Apa kau ingin berjalan-jalan? Kemarin kita tak jadi ke kedai yang kusebutkan karena sudah larut kan? Hari ini kita bisa ke sana untuk teh sore," ajak Arya.

Maria melihat ibunya dengan ragu. Ibu tak menjawab apa-apa. Wanita itu fokus kembali merajut. Ibu merasakan keraguan pada diri Maria dAan mendesah panjang.

"Jika kau ingin pergi maka pergilah." ujar Ibu.

Maria pun meletakkan kain dan benang yang ia pegang. Arya berseru senang kemudian meraih kembali sepedanya. Karena ia hanya akan pergi berjalan-jalan dengan Maria saja, maka ia bisa pergi dengan membonceng gadis itu.

Arya telah siap di atas sepedanya. Bahkan pemuda itu belum melepas sepatunya tetapi dengan penuh semangat ia kembali mengayuh sepedanya saat Maria duduk di atas boncengannya.

"Pertama-tama, kita akan pergi ke kedai teh! Kita harus mencicipi seluruh kue di sana dan menilai apakah kedai itu kayak untuk dikunjungi lagi atau tidak."

Maria hanya mengangguk. Ia memegang erat jas Arya saat berada di atas sepeda. Keduanya berhenti di sebuah kedai kecil dengan konsep Eropa. Ah, ternyata pemilik kedai itu adalah pria Belanda yang menikahi wanita pribumi.

Arya menggandeng tangan maria agar tak tertinggal. Kedai itu terlihat lebih ramai dari perkiraanya. Hampir semua meja telah terisi penuh.

"Sepertinya kita tidak bisa duduk di sini," ujar Arya sedikit kecewa.

Arya pun menoleh ke arah Maria untuk meminta pendapat. Maria sendiri tak banyak bersuara. Ia lebih memilih diam dan melihat sekeliling. Tiba-tiba Arya mengingat sebuah taman di dekat kampusnya.

"Ah, bagaimana jika kita beli beberapa kudapan di sini dan piknik di taman. Hari sudah sore, pasti tidak akan terlalu panas di sana."

Maria hanya mengangguk. ARya pun mengantarkan Maria untuk duduk di salah satu kursi kosong kemudian memasang beberapa jenis kudapan. Ia melirik segerombolan orang eropa yang tengah memperhatikannya dan Maria bergiliran. Arya menoleh ke belakang dan masih menemukan Maria yang sedang terpaku emmebaca deretan buku-buku yang menjadi pajangan kedai.

Selesai menerima pesanan dan membayar, Arya memanggil Maria dan sengaja menggiring gadis itu keluar dari kedai dengan meletakkan tangannya di pinggang gadis itu untuk memberikan kode kepada para orang barat itu untuk tidak melihat ke arah Maria karena Maria adalah miliknya.

DI atas sepeda, Arya meraih tangan Maria yang menggenggam kedua sisi jasnya. Ia menarik tangan Maria untuk memeluk perutnya.

"Hm?"

"Pegangan yang lebih kencang. Jalanan di depan tak terlalu halus," kata pemuda itu dengan wajah yang merona.

Selama perjalanan menuju taman, tak henti-hentinya Arya menggigit bibirnya menahan senyum kesenangan. Kedua tangan Maria yang memeluknya terasa hangat dan hal itu membuat jantung Arya berdegup sangat cepat. Bahkan saat mereka sampai di taman pun, Arya terlihat tak rela melepaskan pelukan tangan Maria. Namun karena keduanya berdiam diri terlalu lama di atas sepeda, Maria mengambil inisiatif untuk melepaskan dirinya sendiri dan turun.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang