Bab 46 - Menghibur Maria

126 31 1
                                    

Arya yang melihat ekspresi kelabu di wajah Maria segera menyadari bahwa gadis itu sedang bersedih karena tadi Ibu tidak memeluknya saat berpamitan hendak pulang ke Bandung. Ibu hanya memeluk Arya dan berpesan kepadanya agar ia belajar tekun dan rajin mengirim surat.

Ibu sama sekali tidak peduli apakah Maria akan belajar atau mengiriminya surat. Ini tentu membuat Maria merasa sangat sedih.

Arya menyenggol bahu Maria dan mengeluarkan cengiran terbaiknya.

"Hey... sekarang sudah tidak ada ibu..." Ia mengedipkan sebelah mata. "Kau mau bersenang-senang keluar malam?"

"Keluar malam?" Maria mengangkat kedua alisnya keheranan.

"Di pusat kota, dekat sini ada sebuah klub malam. Mereka sering mengadakan pertunjukan musik live dan dansa. Kita bisa berkunjung ke sana," kata Arya. "Kita bisa melihat suasana baru. Mencoba makanan dan minuman baru serta melihat kehidupan malam di Batavia."

Ia sudah mendengar tentang klub ini beberapa kali dari teman-teman sekolahnya. Tempat itu kerap dikunjungi anak muda dan merupakan tempat pergaulan yang cukup terkenal di kota. Para pengunjungnya adalah generasi muda pribumi terpelajar, orang Eropa dan campuran. Bisa dibilang, ini adalah tempat yang paling 'happening' bagi orang muda yang ingin bertemu dengan calon orang-orang penting dan berpengaruh di masa depan.

Maria langsung mengernyitkan keningnya mendengar usulan Arya yang mengajaknya ke tempat keramaian. Tidak tahukah Arya bahwa Maria tidak menyukai tempat-tempat ramai?

Ia hanya senang menghabiskan waktunya dengan buku dan pengetahuan baru. Satu-satunya orang yang senang ia habiskan waktu bersama adalah Arya. Ia tidak dapat membayangkan masuk ke klub yang hingar-bingar dengan musik dan dikelilingi banyak orang.

"Kudengar, di sana orang-orang juga saling membacakan puisi dan cerita pendek," kata Arya lagi. Suaranya terdengar sangat antusias. "Aku ingin melihat seperti apa suasananya."

Maria tertegun. Ia ingat bahwa sebenarnya Arya sedari dulu sangat ingin menjadi penulis. Pemuda itu membuang cita-citanya demi masuk sekolah kedokteran agar ia bisa mendapatkan ilmu yang sangat ingin Maria dapatkan.

Menurut Hermand, Arya kuliah kedokteran demi mereka berdua.

Kini, mendengar suara penuh semangat Arya, dan kilatan di matanya saat ia membicarakan tentang klub malam tempat orang-orang saling membacakan puisi dan cerpen mereka, Maria sadar bahwa seluruh jiwa Arya masih sepenuhnya merindukan menjadi seorang penulis.

Seulas senyum lembut pelan-pelan terukir di bibir Maria. Ia mengangguk. "Kita bisa pergi ke sana. Kedengarannya menyenangkan."

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang