Bab 2 - Si Pencinta Hujan

955 134 2
                                    


Bandung, tahun 1926

Hari ini ban sepeda Maria kempes dan ia terpaksa meminta Arya mengantarnya ke sekolah. Arya sudah duduk di kelas dua HBS (Hogere Burgerschool) dan Maria di tahun terakhir ELS (Europeesche Lagere School).

Sebenarnya tahun lalu Maria bisa lompat kelas dan langsung lulus, tetapi ia jatuh sakit selama tiga bulan dan tidak bisa mengikuti ujian kelulusan sehingga tetap di kelas reguler. Walaupun demikian, semua pelajaran di levelnya sekarang terasa sangat mudah bagi Maria yang pintar.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku pelajaran Arya daripada buku pelajarannya sendiri. Kadang-kadang, kalau sedang malas, Arya akan meminta Maria mengerjakan PR-nya dengan imbalan mengantar jemput gadis itu kapan pun ia butuhkan, seperti hari ini.

Sesudah bel pulang berbunyi, Maria menunggu Arya menjemputnya di perpustakaan sekolah sambil membaca jurnal kedokteran terbaru langganan kepala sekolah. Sayangnya, tidak satu pun kalimat yang dibacanya merasuk ke benak Maria, karena saat ini ia sedang gundah memikirkan pendaftarannya ke HBS sesudah lulus dari ELS sebentar lagi.

Mevrouw* Vos pernah memujinya sebagai murid paling cerdas yang pernah ia ajar sepanjang kariernya, dan mendorong Maria mencari beasiswa kuliah ke negeri Belanda untuk menjadi ilmuwan seperti Marie Curie. Maria sangat gembira mendengarnya. Ayah juga dulu sekolah di Belanda dan Maria ingin mengikuti jejaknya.

Sayangnya, kecerdasan Maria tidak ada artinya di mata keluarga besar Haryakusumah, kakeknya. Ibu dan Kakek menganggap seharusnya dua tahun lalu Maria berhenti sekolah dan mulai dipingit seperti kebanyakan anak perempuan sebayanya. Mereka cukup konservatif dan kolot.

Ibu sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan umum, dan hanya memiliki guru pribadi yang mengajarinya membaca dan menghitung serta kepandaian putri.

Maria berhasil bersekolah sejauh ini karena ayahnya yang mengenyam pendidikan Barat cukup berpikiran terbuka dan memohon kepada Kakek agar Maria setidaknya lulus dulu dari ELS.

Dibandingkan Kakek, kedudukan Ayah yang lebih rendah membuatnya kalah suara untuk memuluskan kesempatan Maria melanjutkan sekolah ke HBS. Maria sudah pasti harus mulai dipingit dan disiapkan untuk menikah setelah lulus dari ELS.

Dan bulan depan Maria akan lulus...

"Heh, melamun." Arya yang baru tiba di perpustakaan mencuil bahu Maria yang lesu. Jurnal yang dibacanya sejak satu jam lalu masih belum beranjak dari halaman pertama. "Ayo pulang, sebentar lagi hujan."

Maria mengangguk dan bangkit mengikuti Arya ke halaman tempat ia memarkir sepedanya. Mereka lalu berangkat pulang. Baru setengah perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan deras dan mereka terpaksa berhenti.

"Turun hujan! Ayo kita berteduh!" seru Arya sambil meminggirkan sepeda dan berteduh di bawah pohon beringin besar. Ia membuka jas dan menutupkannya ke kepala Maria. "Sinikan tasmu, biar tidak kebasahan."

Maria menurut dan menyerahkan tasnya kepada Arya untuk ditutupi dengan tas pemuda itu, agar tidak terkena hujan. Mereka berdiri dengan sabar, menunggu hujan berhenti.

"Hmm... kaucium bau ini?" tanya Arya tiba-tiba. Ia memejamkan mata dengan khidmat dan menghirup napas dalam-dalam. "Bau khas hujan! Alam sungguh murah hati kepada kita dengan menghadirkan keindahan di setiap tetes air, setiap tiupan angin, dan setiap langkah kita menapak bumi."

Maria menoleh dan tersenyum melihat Arya yang selalu bersikap seperti kanak-kanak saat hujan tiba. Pemuda itu mencintai hujan, dan Maria bisa bersumpah saat pertama kali melihat pelangi sehabis hujan, Arya terpukau dengan mulut ternganga setengah jam lamanya.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang