Bab 13 - Persahabatan Bertiga

470 86 5
                                    


Demi Maria, Hermand dan Arya bersikap baik di depan satu sama lain. Sepulang sekolah Hermand mengajak mereka ke Gedung Sate dan mempersilakan keduanya memilih buku-buku yang ingin dibaca.

Hermand bukan kutu buku seperti keduanya, tetapi ia senang melihat wajah kagum Arya saat melihat koleksi di perpustakaan tersebut dan pandangan Maria yang berseri-seri saat membuka lembar demi lembar buku ilmu pengetahuan yang ada di rak khusus.

Karena Maria sering sibuk dengan dunianya sendiri, apalagi saat ia tengah khusyuk membaca, mau tak mau Hermand hanya bisa mengobrol dengan Arya. Ia mula-mula menanyakan kabar mereka setelah ditinggalkan ayahnya dan situasi di rumah. Ia tak dapat membayangkan bila ayahnya sendiri meninggal dan ia harus menjadi kepala keluarga di usia demikian muda.

Kalaupun itu terjadi, Hermand masih mempunyai dua orang kakak, sehingga bagaimanapun ia tetap akan memiliki pengayom bila orang tuanya tiada.

"Hmm... tidak terlalu baik. Ibuku menyalahkan Maria atas kematian Ayah. Aku takut meninggalkan Maria di rumah sendirian," kata Arya pelan. Ia melirik Maria yang sedang asyik membaca, tanpa menyadari betapa Arya sedang bersusah hati. "Kau sekarang sudah mengerti kan, kalau Maria itu anaknya unik... Aku takut ibuku akan bicara hal-hal menyakitkan dan Maria akan kabur lagi dari rumah."

"Memangnya kau harus pergi kemana? Kalian kan selalu bersama?" tanya Hermand keheranan.

Akhirnya Arya menerangkan perjanjian yang dibuatnya dengan Kakek. Ia mengangkat sepasang alisnya melihat wajah terkesima Hermand. Kalau Arya tak pernah menyentuh sapu sebelumnya, bisa dibayangkan bagaimana halnya dengan seorang anak residen.

Hermand menekap mulutnya kaget, "Kau membersihkan dan memasak di rumah kakekmu sepanjang akhir pekan? Kau tidak bermain atau liburan?"

Arya memutar bola matanya. "Aku tidak punya pilihan, kalau aku berhenti nanti Kakek dan Ibu akan menikahkan Maria. Kau lihat, bagaimana bisa anak itu bertahan kalau harus kawin dan melayani bapak-bapak bupati atau wedana sebagai suami?"

Hermand menoleh ke arah Maria lalu menatap Arya lama sekali. Akhirnya ia menggeleng-geleng.

"Orang inlander memang aneh," Ia mendengus. Dalam hati ia merutuk diri karena sudah kalah satu poin dari Arya. Apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk membantu Maria?

Arya menghela napas, "Aku bisa saja sih mengajak Maria ke Ciwidey bersamaku."

"Uhm... sebenarnya kalau kau pergi ke Ciwidey di akhir pekan, aku bisa mengajak Maria ke rumahku untuk 'belajar' atau bertemu ibuku. Pasti ibumu takkan bisa menolak. Tidak seorang pun bisa berkata tidak kepada keluarga residen," kata Hermand kemudian. "Atau kita gantian. Kalau aku tidak bisa membawanya ke rumah, kau bawa dia ke Ciwidey. Bagaimana?"

Arya menatap Hermand dengan pandangan rumit. Ia tahu niat Hermand baik, tetapi ia tak tahu apakah ia bisa mempercayakan Maria kepadanya. Namun setelah berpikir keras beberapa lama, ia sadar ia tak punya pilihan.

Ia tak bisa mengambil risiko selama suasana hati Ibu masih sangat buruk. Mudah-mudahan beberapa bulan lagi situasi sudah membaik dan keadaan bisa kembali seperti semula. Bagaimanapun mereka adalah keluarga.

"Baiklah... aku setuju. Minggu ini aku akan mengajak Maria ke Ciwidey, minggu depan kau boleh membawanya ke rumahmu," Arya akhirnya mengangguk.

Mereka berdua memperhatikan Maria yang masih membaca. Mereka tahu gadis itu istimewa, sangat cerdas, tetapi juga sangat rapuh, dan saat ini mereka hanya ingin melindunginya.Arya dan Maria pulang ke rumah membawa beberapa buku pinjaman. Hermand sudah memberi tahu kepada Mevrouw Visser untuk membiarkan kedua temannya itu meminjam buku kapan saja. Arya sangat berterima kasih atas kebaikannya. Ia tahu di saat sulit seperti ini, buku adalah teman terbaik bagi Maria dan dirinya sendiri.***

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang