Bab 26 - Persiapan Ke Belanda

275 60 1
                                    

Keesokan harinya, Arya membongkar celengannya dan merogoh setiap saku celananya, berharap ada tambahan uang yang temukan. Bahkan lima sen pun tak jadi masalah. Ia selalu mendapat hadiah uang di hari ulang tahunnya, baik itu dari kakek, ayah dan ibunya serta keluarga paman dan bibi. Untungnya Arya bukan anak yang boros. Ia menyimpan setiap sen uang yang diperolehnya dengan tujuan untuk membiayai petualangannya di masa depan nanti.

Ia tahu orang tuanya mungkin akan sulit merestui rencananya bertualang. Sebagai cucu lelaki satu-satunya dari Keluarga Haryakusumah, ia menanggung beban di pundaknya untuk membuat bangga keluarga besarnya.

Karena itulah, ia berencana untuk kabur dan bertualang ke Eropa jika memungkinkan. Ia akan melihat dunia, menulis, dan hidup bebas. Raden Kartono membuatnya terinspirasi dan ia ingin menjalani hidup seperti beliau, jika memungkinkan.

Ah, setelah bertahun-tahun menabung, tak dinyana, Marialah yang akan terlebih dahulu melihat benua Eropa. Namun, tak mengapa. Asalkan Maria bisa selamat dari kungkungan tradisi kuno yang dianut keluarganya dan hidup bahagia, bagi Arya itu sudah cukup.

Ia menghitung total uang tabungannya dan semua uang receh yang berhasil ia temukan.

Terkumpul 118 gulden. Jumlah yang sangat banyak untuk ukuran anak sekolah. Pada masa itu, gaji fresh graduate lulusan sekolah Belanda adalah sekitar f 40 (40 gulden). Namun, untuk bekal memulai hidup baru di negeri orang, tentunya ini jauh dari cukup.

Arya berharap Hermand akan mau membantu Maria di Belanda sementara ia akan berusaha mencari uang tambahan di Bandung untuk dikirimkan ke sana. Mungkin ia bisa mencari kerja sambilan.

Arya melipat lembaran-lembaran uang itu dengan rapi dan menata koin tembaga gulden di sebelah tumpukan uang kertas. Ia mengumpulkan semua yang ada untuk dibawa Maria. Di atas ranjang, terdapat kotak kayu berisikan uang yang sudah Arya kumpulkan.

***

Hari kelulusan telah mereka lalui dan ijazah sudah mereka pegang. Kakek dan ibu sudah mulai memingit Maria.

Beberapa hari yang lalu Hermand membawa kabar baik. Surat rekomendasi beasiswa dari Residen telah turun dan lembar kertas itu akan menjadi kunci kebebasan Maria. Tanpa menunggu lama, Arya dan Hermand langsung memutuskan hari keberangkatan Maria.

Hermand dan Maria akan berangkat menggunakan kapal dari Batavia. Untuk menuju Batavia, keduanya akan menggunakan kereta api dari Stasiun Bandung. Tiket sendiri telah dibelikan oleh kedua orang tua Hermand untuk keberangkatan pagi. Karena kesibukan kedua orang tuanya, mereka tidak dapat mendampingi Hermand sehingga residen hanya mengirimkan dua orang pengawal untuk pergi menyertai sang putra.

Maria akan ikut Hermand dari Bandung hingga Batavia, lalu kemudian naik kapal hingga ke Amsterdam. Sedari semalam, Arya telah disibukkan menyiapkan segala sesuatu untuk Maria.

"Kau butuh pakaian tebal karena angin laut akan sangat dingin di malam hari," ujar Arya sambil melipat mantel tebal yang baru ia belikan dengan sisa uang jajannya.

Untungnya, selama tiga hari itu, Ibu tengah berada di Ciwidey karena kakek tengah mengadakan hajatan lain. Arya berbohong dengan menggunakan alasan sakit dan Ibu pun mengizinkan Arya untuk tidak ikut dengannya.

Ibu tak terlalu memikirkan Maria. Ia masih belum bisa menghabiskan waktu berdua dengan gadis itu. Ibu pun memilih pergi seorang diri... dan Arya menggunakan kesempatan tersebut untuk mempersiapkan keberangkatan Maria.

Arya bahkan membuat daftar pakaian yang dibelinya. Belanda tidak terletak di garis khatulistiwa yang hanya memiliki musim panas dan musim penghujan seperti Hinda Belanda. Di musim dingin, angin akan berhembus sangat kencang, ia tidak ingin Maria jatuh sakit akibat ia tidak menyediakan pakaian hangat dan tebal untuk gadis itu.

Bersama Hermand, Arya telah mengunjungi seluruh toko untuk mencari pakaian terbaik untuk Maria. Hermand sendiri besar di Belanda, jadi pemuda itu setidaknya tahu jenis kain apa yang bisa menghangatkan Maria di sana nanti. Kini di dalam koper telah bertumpuk berbagai pakaian tebal dan hangat yang baru untuk dipakai Maria di kapal dan nanti di Belanda.

Arya menutup koper berisi pakaian milik Maria. Ia kemudian melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal

"Hm... aku rasa semuanya sudah masuk," ujarnya.

Maria masih duduk di tempat tidurnya sambil memegangi foto hitam putih keluarga mereka. Ini adalah foto yang biasa menghiasi meja kerja ayah di kantornya. Maria mengulurkan tangannya membuat Arya tertawa.

"Oh tentu saja, kau harus membawa ini. Ini akan membuatmu selalu teringat wajahku! Jangan sampai kau lupa wajah pria tertampan di seluruh dunia ini hanya karena kepalamu diisi oleh ilmu kedokteran terus-menerus," ujar Arya menggoda Maria.

Ia menerima foto keluarga dari tangan Maria dan memandangnya untuk sesaat. Perasaan melankolisnya kembali hadir lagi. Setelah malam ia berbincang bersama Maria di atas atap rumah, Arya selalu memasang wajah ceria dan kuat. Arya kembali tertawa kecil untuk saat dirasa pandangan di kedua matanya mulai mengabur oleh air mata.

"Tentu kau tidak akan melupakanku, karena kau pasti akan kembali. Iya kan, Maria?"

Maria pun mengangguk dan Arya sekali lagi membuka koper Maria untuk meletakkan foto keluarga mereka.

Ia berjalan mengitari ruangan untuk menutup jendela kamar Maria. "Sudah larut, saatnya kau tidur. Besok kita harus bangun pagi karena Hermand akan menjemputmu."

Arya merapikan selimut Maria dan mengelus puncak kepala gadis itu sekali lagi.

"Selamat malam Arya," ujar Maria membuat Arya terdiam di tempat.

Pasalnya selama ini Maria tidak pernah mengucapkan selamat malam lebih dulu. Ia selalu yang mengawali. "Iya, selamat Malam, Maria. Mimpi indah," balas Arya dengan suara bergetar.

Setelah menutup pintu kamar Maria, Arya bersandar sesaat merasa hatinya yang berat melepaskan maria pergi. Tangannya meremas dadanya untuk menghilangkan rasa tak nyaman. Dan setitik air matanya pun jatuh membasahi pipi pemuda itu.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang