Bab 8 - Maria Menghilang

526 97 1
                                    


Arya dan Hermand kembali ke sekolah dan menelusuri jalan-jalan di sekitarnya sambil bertanya ke siapa pun yang mereka temui, apakah mereka melihat seorang gadis indo yang menangis keluar dari sekolah. Seorang tukang perkakas memberi petunjuk bahwa Maria mengayuh sepedanya keluar dari sekolah dan menuju ke arah timur.

"Aku harus memberi tahu Ayah dulu," kata Arya kemudian. Hari sudah mulai gelap dan ia tahu bahwa tanpa bantuan polisi kemungkinan mereka tidak akan bisa menemukan Maria.

"Apa Maria punya tempat kesukaan yang mungkin dia tuju?" tanya Hermand. "Aku bisa ke sana duluan."

Arya menggeleng. Maria tidak pernah ke mana-mana sendirian. Hidupnya hanya di seputar rumah dan sekolah, dan kadang-kadang ia ikut Arya atau ayah ke pasar malam. Selain itu mereka datang ke acara resmi sekeluarga. Temannya juga tidak banyak.

Arya memacu sepedanya ke Bragaweg* dan mencari Ayah. Hermand mengendarai sepedanya sambil berseru memanggil nama Maria. Hingga hari gelap ia tak menemukan jejak gadis itu.

Ayah sudah tidak ada di kantor saat Arya tiba di sana. Ia pun segera menuju ke rumah dan menemukan orang tuanya sedang makan malam bersama. Mereka sangat terkejut dan segera menyudahi makan begitu mendengar keterangan dari Arya.

"Tunggu di sini, Ayah akan ke kantor polisi." Ayah segera mengambil kunci mobil fordnya dan berangkat tergesa-gesa tanpa menunggu supir.

"Ayah, aku mau ikut!" Arya buru-buru naik ke kursi penumpang dan dengan pandangan memelas memohon agar diperbolehkan ikut. Ayah seperti tidak melihatnya, pandangannya kalut saat ia memacu mobil ke kantor polisi.

Setibanya di kantor polisi ia buru-buru bicara dengan Kapten Jannsen dan menunjukkan foto keluarga yang diambil saat ulang tahun kakek beberapa bulan lalu untuk memberi gambaran rupa Maria.

Kapten Jannsen segera memerintahkan anak buahnya untuk berkeliling mencari informasi. Arya dan ayah duduk sebentar di kantor polisi untuk menenangkan diri, sebelum kemudian melanjutkan pergi mencari Maria.

Mobil ayah berhenti di kantor jaksa.

"Tadi siang Maria mampir ke kantor Ayah." kata Ayah tiba-tiba dengan suara lirih. Ia memijat keningnya seperti menahan sakit kepala yang amat berat. "Dia cuma duduk di sofa seperti biasa..."

Ayah turun dari mobil dan masuk ke dalam kantornya pelan-pelan, seolah mengamati setiap jejak Maria yang mungkin tersisa, untuk mencari petunjuk keberadaan gadis itu. Arya terkesiap mendengar perkataan ayahnya. Ia tidak menduga Maria tadi siang ke sini.

"Dia nggak bilang apa-apa?" tanya Arya cepat.

Ayah menggeleng. Ia menangkupkan kepalanya di antara kedua tangannya dan tampak sangat kalut. Arya belum pernah melihat ayahnya sekuatir ini. Maria seorang anak perempuan, dan sangat cantik. Sungguh berbahaya baginya berada di luar sendirian seperti ini. Mereka tak bisa membayangkan bahaya apa saja yang mengancamnya.

"Ayah, aku mau keluar mencari Maria." kata Arya kemudian. Ia akan menelusuri jejak Maria dari kantor ayah, dengan harapan ia bisa menemukan jejaknya. Ia berhenti di depan pintu dan merenung, ke arah mana kira-kira Maria akan melangkah. Saat pandangannya tertumbuk pada penjaga gedung, ia tergesa-gesa menanyakan apakah ia tadi siang melihat Maria keluar dari kantor ini.

"Oh, nona Maria tadi menuju ke arah utara sambil menuntun sepedanya. Wajahnya sedih sekali. Bapak pikir dia dimarahi tuan jaksa." jawab lelaki separuh baya itu.

"Ayah tidak pernah memarahi Maria," dengus Arya. Ia segera berjalan ke arah yang ditunjukkan penjaga kantor. Matanya sigap melihat ke segala arah. Jalanan ramai dengan kafe yang masih buka untuk orang-orang menikmati makan malam.

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang