Bab 34 - Rumah Baru Di Batavia

166 36 4
                                    

Hari kepindahan keluarga Adinata pun telah tiba. Kini mereka telah tiba di kediaman baru di Batavia yang sudah kakek siapkan. Rumah baru tersebut berada di tengah kota dengan tembok tinggi sehingga tetap memberikan kesan privat untuk keluarga mereka. Tak jauh dari kediaman baru, terdapat sebuah pusat hiburan dan hanya butuh beberapa menit saja bersepeda ke kampus.

Arya memeriksa seluruh ruangan memastikan tak ada celah atau kekurangan dan semuanya sempurna. Tas dan koper berserakan di ruang tamu. Di rumah barunya, Arya tidak memiliki pelayan karena Arya berjanji akan membuktikan kemandiriannya. Juga Ibu mengatakan bahwa kesempatan itu cocok untuk Maria belajar mengurusi rumah supaya nanti saat ia menikah ia bisa mengurusi keluarga barunya.

"Arya, letakkan semua tas mu terlebih dahulu baru kau bisa keluar berkeliling. Mengerti?" ujar Ibu yang tengah membuka tasnya sendiri yang berisi banyak pakaian. 

Mereka membawa banyak tas berisikan pakaian karena mereka telah memutuskan untuk tinggal di Batavia saja selama Arya berkuliah. Tak ada pakaian yang mereka tinggalkan di rumah lama. Bahkan foto-foto keluarga pun dibawa semua. Ibu tak ingin berjauhan dengan foto mendiang Ayah. Arya mengiyakan saja agar Ibu bisa merasa betah di kota ini.

Arya selesai melihat-lihat dan merasa puas dengan rumahnya. Ia telah memutuskan untuk mengambil kamar terdepan agar bisa memantau gerbang depan dari jendela kamarnya dan kamar Maria tepat berada di sebelahnya. Ibu akan menempati kamar terbelakang yang lebih besar.. Masih tersisa dua kamar kosong yang akan Arya jadikan ruang belajarnya nanti.

Setelah memilih kamar, pemuda itu menyeret koper Maria dan membantu gadis itu menyimpan seluruh pakaiannya di lemari.

"Bagaimana? Kau menyukai kamarmu?" tanya Arya.

Maria sedang memasang foto keluarga kecil mereka di atas nakas. Gadis itu melihat sekeliling kamarnya kemudian mengangguk. Arya tersenyum lega. Bagaimana pun kenyamanan Ibu dan Maria juga harus ia utamakan karena dirinyalah yang mengajak mereka untuk tinggal bersama.

"Tadi waktu kita melewati jalan besar, aku melihat sebuah kedai makanan. Kau ingin mencobanya setelah ini?" tawar Arya yang tak sabar ingin melihat daerah sekitar rumahnya.

Bagi Arya yang memiliki jiwa berpetualang, sedari mereka sampai tadi, kakinya telah bergerak resah tak sabar untuk meninggalkan rumah dan mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitar. Ia ingin mengenal seluruh jalanan di sekitar itu sehingga ia tak perlu khawatir akan tersesat.

Arya menutup tas milik Maria dan meletakkannya di atas lemari.

"Tapi kita masih memiliki kotak buku yang belum dibuka," ujar gadis itu mengingatkan Arya akan semua barang bawaan mereka.

Mereka tak membawa banyak barang yang tak penting. Seluruh isi tas hanya didominasi oleh pakaian saja. Ada juga satu tas yang berisikan barang-barang juga dokumen penting Selain itu ada kardus besar berisikan buku-buku bacaan Maria dan Arya yang tak bisa mereka tinggal di rumah lama.

"Ah, kalau begitu bagaimana dengan besok? Setelah aku pulang dari kampus?"

Maria mengangguk mengiyakan.

"Kalau begitu bantu aku mengeluarkan semua buku kita," ajak Arya sambil meraih tangan gadis itu menuju ruang tamu.

Seorang sopir yang ditugaskan kakek untuk mengantar keluarga Adinata pun izin pamit untuk kembali ke Bandung. Semua barang telah dikeluarkan dan Ibu memberikan tambahan uang saku kepada sopir itu sebelum pulang.

Ibu menatap kepergian sopir tersebut dengan perasaan campur aduk. Beberapa hari sebelum kepindahan terasa sangat mendebarkan. Tetapi sekarang mereka sudah berada di lingkungan baru dan wanita itu merasa asing. Ia menatap gerbang rumah yang berbeda dengan gerbang rumahnya di Bandung. Terasa aneh ...

Rasanya seperti berubah. Wanita itu menyentuh dadanya yang bergemuruh. Entah kenapa firasatnya mengatakan sesuatu akan terjadi dan ia tak siap akan perubahan itu.

"Ibu? Apakah ibu sudah mengeluarkan semua baju milik Ibu?" tanya Arya yang tiba-tiba muncul di belakang. Raden Ayu berbalik sebentar dan tersenyum ke arah putranya. Ia menggeleng pelan mencoba menghapus perasaan anehnya.

Ia melihat Arya yang kesusahan membawa kardus berisikan buku-bukunya.

"Dimana Maria?"tanya Ibu yang ikut masuk ke dalam rumah.

"Maria sedang di ruang belajar membantuku menata semua buku ini."

"Kalau begitu malam ini, biar ibu yang memasak. Kau dan Maria selesaikan tugas kalian masing-masing."

Arya mengangguk paham. Raden Ayu pun berlalu menuju dapur. Dalam perjalanannya ia mengintip Arya yang masuk ke dalam ruang belajar. Ia bisa melihat Maria yang tengah duduk di lantai sambil membaca salah satu buku yang ia ambil dari kardus yang sudah terbuka. 

Arya meletakkan kardus tersebut di samping kemudian mengacak rambut Maria membuat gadis itu merengut dan hal itu membuahkan sebuah tawa lepas dari Arya. Firasat yang ia hapus tadi kini kembali Raden Ayu rasakan. Ia memperhatikan anaknya dengan seksama kemudian menggeleng cepat.

"Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin ... ada-ada saja," gumam wanita itu yang kemudian bergegas ke dapur.

***

Hari pertama masuk sekolah pun telah tiba. Hari itu telah dikukuhkan jika seorang Raden Arya Adinata telah menjadi mahasiswa dari Geneeskundige Hoogeschool te Batavia. Sekolah itu banyak diisi oleh orang-orang berkebangsaan Eropa. Mulai dari orang blasteran dengan identitas anak pejabat belanda hingga anak-anak pengusaha dari eropa lainnya. Sepertinya hanya Arya yang merupakan orang pribumi.

Namun hal itu tak langsung menyurutkan semangat Arya. Beberapa orang mungkin masih melihatnya sebelah mata tapi meski pun dirinya adalah seorang pribumi Arya mampu membuktikan dirinya layak masuk ke sekolah itu. Mungkin sebagian orang-orang GHS mengira karena Arya adalah cucu seorang mantan bupati maka pemuda itu bisa mendapatkan akses lebih mudah untuk masuk GHS tetapi rumor itu dipatahkan oleh Arya saat pemuda itu dengan luwes ikut diskusi sederhana yang diadakan kelas sebagai pengenalan proses belajar ke depannya.

Tak butuh waktu lama untuk orang-orang di sana mengenali Arya. Selain karena ia satu-satunya orang berkulit sawo matang, Arya juga adalah anak yang ramah dan supel. Ia begitu mudah mengakrabkan diri dengan teman-teman barunya. Ia tak sungkan untuk menyapa duluan dan hal itu membuat Arya menjadi terkenal dalam sehari.

"Arya, Wil je rond Batavia reizen?" (Arya, ingin berkeliling Batavia?) tanya seorang teman barunya saat mereka keluar dari kelas orientasi yang terakhir. Mereka tahu bahwa Arya bukan asli berasal dari Batavia maka mereka menawarkan untuk mengajak Arya untuk menjelajahi kotanya itu.

"Nee, dank u. Sudah ada janji," balas Arya yang membalas lambaian tangan teman barunya itu.

"De volgende keer?" (Lain kali)

"Oke!"

Arya mengangkat jempolnya kemudian berjalan cepat ke tempat parkiran sepeda. Beberapa dari temannya pulang dijemput oleh sopir pribadi masing-masing. Hanya beberapa orang saja yang membawa sepeda. Dirinya, beberapa orang blasteran atau orang Belanda yang ingin berolahraga di tengah kesibukan belajarnya.

Melihat beberapa orang yang dijemput oleh mobil itu mengingatkan Arya kepada sahabatnya yang sudah berada di Belanda sekarang, Hermand. Arya tersenyum singkat dan berharap suatu hari nanti ia benar-benar ingin kembali bertemu dengan Hermand lagi dan mereka bisa ngobrol bertiga bersama Maria juga. Mungkin... di Belanda?

Raden Arya AdinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang